Enam

25.5K 933 5
                                    


Aku menghempaskan diri di sofa dengan rasa kesal. Bisa gila kalau aku terus memikirkan CEO gila yang sialannya tampan itu. Bagaimana bisa? Setelah ia memaksaku untuk pulang bareng, ia menggodaku dengan ucapannya, dan kemudian ia mengacuhkanku dan bahkan tidak menjawab ucapan terima kasihku.

Kepalaku semakin pusing, apalagi memikirkan besok adalah hari yang pasti terpanjang dalam hidupku. Baiklah untuk saat ini mari beristirahat dan tidak memikirkan apapun, apalagi yang berhubungan dengan Khana.

***

Pagi ini aku berangkat cukup pagi ke kantor, tak ingin terlambat untuk menyiapkan teh untuk Bapak CEO yang terhormat itu. Tapi sebenarnya aku hanya tidak ingin bertemu dengan sekretaris anehnya dan ditanyai macam-macam.

Aku telah berada di depan pintu besar ini, sambil membawa segelas teh hangat. Syukurlah nenek lampir itu belum datang. Aku pun menekan tombol yang berada di pintu ini dan terdengar bunyi klik yang artinya pintu ini sudah tidak terkunci.

"Selamat pagi Pak, ini teh yang bapak minta," sapaku begitu masuk ke dalam ruangan.

"Terima kasih. Tapi Kia, untuk kedepannya kamu bisa membuatkan teh langsung di ruangan saya saja," ucapnya sambil menunjuk ke sudut ruangan yang ternyata ada pantry mini disana.

"Baik Pak,saya permisi," jawabku langsung tanpa perlu menyanggah ucapannya, lagian siapa juga yang akan membuatkan teh untuk kedepannya? Baiklah Syakira ini masih pagi dan dirimu harus mengisinya dengan energi baik. Ucapku menenangkan diri.

"Tunggu, kau duduklah dan aku akan menghabiskan teh ini dulu," perintahnya.

"Tapi, pak-" jawabku dan dia langsung menyambar begitu saja ucapanku.

"Jam kantor masih setengah jam lagi. Atau kau sengaja membuatkan minuman ini agar kau bisa lama-lama bersamaku?" tanya dia sambil tersenyum mengejek.

What? Setelah merapalkan berbagai macam do'a di dalam hati aku hanya bisa tersenyum manis mencoba tidak meladeni sifat kekanakkannya.

"Kau tersenyum seperti itu seolah ingin memakan ku saja," ucapnya sambil menyesap sedikit teh yang sepertinya masih panas.

"Bapak jangan banyak berburuk sangka pada saya. Baiklah Pak saya permisi karena pekerjaan saya bukan hanya membuatkan teh untuk Bapak,," ucapku dan langsung meninggalkan ruangan tanpa peduli dia akan berkata apa.

Setelah sampai di ruanganku, aku pun duduk dan mencoba menetralkan jantungku yang mulai tidak tenang. Setiap berdekatan dengannya selalu saja ada rasa aneh. Ahh.. Iblis itu memang tampan dan senyumnya begitu menawan.

---

Suara dari pintu seketika menghentikan aktivitasku yang sedang meninjau harga saham perusahaanku.

Itu pasti Kia. Aku pun segera menekan tombol hijau di mejaku, dan nanti lampu hijau akan menyala di pintu itu sebagai tanda kalau ia diperbolehkan masuk. Pintu di ruanganku memang hanya bisa dibuka dengan kartu yang hanya aku dan ayahku saja yang punya. Tapi jika aku telah berada di ruangan biasanya tidak aku kunci, biar aku tidak usah repot-repot selalu membuka kan kunci.

"Selamat siang pak. Ini makanan anda. Mohon maaf saya hanya bisa memasak seadanya," ucapnya dengan bahasa formal.

"Ini jam makan siang Kia, dan kamu tidak usah memanggil saya Bapak, dan jangan berbicara dengan bahasa yang terlalu formal," ujarku padanya karena jujur aku tidak nyaman mendengarnya.

"Tapi ini masih di kantor Pak, dan anda adalah atasan saya disini. Silahkan dimakan Pak," ujarnya tanpa memandang ke arahku.

Baiklah, kurasa alasannya cukup logis, dan aku pikir ia tak akan menurut kepadaku jika ia anggap bahwa argumennya adalah benar. Aku pun segera menyantap makan siang yang telah ia siapkan.

"Kia, kenapa kamu tidak makan?" tanyaku kemudian.

"Makanan saya ada di tas pak, silahkan Bapak lanjutkan saja," jawabnya sambil memandang ke arah kaca besar yang berada dibelakang ku.

"Duduklah, dan kita makan bersama," titahku.

"Silahkan dilanjut pak makannya dan jangan pedulikan saya," ujarnya bersikeras menentang perintahku.

"Duduk!" ulangku.

Dan dia pun akhirnya duduk walaupun aku tahu dalam hatinya pasti ia mengumpati ku.

"Kenapa anda pemaksa sekali Pak?" tanya dia dengan wajah judesnya.

"Saya tidak pemaksa, hanya saja apa yang saya anggap benar itu harus dituruti,," jawabku tak mau kalah.

Ku lihat dia memutar bola matanya merasa jengah dengan jawabanku.

"Itu sama sa ... hmmpp"

Aku segera menyumpal mulutnya yang akan protes lagi dengan sesendok nasi penuh, dan bisa kulihat matanya menatapku marah.

"Anda tidak sopan sekali Pak!" ucapnya ketus ketika nasi di dalam mulutnya telah ia telan.

"Ya kamu sudah tahu. Bisa dilanjutkan makannya?" tanyaku menggodanya.

"Tidak pak, silahkan dihabiskan, saya akan makan setelah selesai shalat dzuhur nanti," tolaknya.

"Hemmm ... baiklah." ujarku final. Sepertinya percuma berdebat dengannya. Wanita ini begitu keras kepala.

Syaqira melirik sejenak ke arah Dane yang tengah menikmati makanannya.

Walaupun kesal, tapi aku bersyukur melihatnya nampak menikmati makanan yang aku buat itu. Ruangan ini terasa begitu mencekam, aku tidak tahu apakah ada yang salah dengan penampilanku hari ini, mengapa CEO gila ini terus memandangiku seperti itu?

"Pak, boleh saya bertanya?" selalu saja aku yang memulai memecah keheningan.

"Silahkan, kau mau bertanya apa?" tanya dia sambil meneguk air minum.

"Berarti hukuman saya telah selesai ya pak?" tanyaku hati-hati.

"Tentu saja belum nona Kia," jawabnya.

"Ma ... maksud bapak? Bukankah saya telah melakukan apa yang Bapak perintahkan?" tanyaku mulai was-was, pasalnya pemikiran CEO ini selalu diluar ekspetasi.

"Ya ... itu benar, tapi saya belum menentukan batas waktunya bukan?" dia malah balik bertanya.

Emosiku benar-benar tidak terbendung lagi sekarang, aku pun berdiri dan berkata.

"Maaf tuan Dane yang terhormat, anda tidak bisa melakukan seenaknya kepada saya. Saya permisi!" ujarku.

Akupun berlalu dan hendak pergi, saat aku hendak melangkah untuk pergi, sebuah tangan kekar menahanku. Aku pun segera berbalik dan Oh My God, aku dan dia berada di jarak yang sangat dekat.

"Kau marah padaku Kia?" tanya dia.

"Tidak, saya mohon lepaskan tangan saya," jawabku karena jika kami berada dalam jarak ini terlalu lama, bisa-bisa aku benar-benar kehilangan akal.

"Tidak akan saya lepaskan Kia, kamu memang benar-benar marah padaku bukan?" tanya dia lagi.

"Sudah ku katakan bahwa aku tidak marah padamu," entah kenapa tiba-tiba aku berbicara tidak formal padanya.

"Tapi,tadi kau memanggilku Tuan Dane, itu artinya kau sedang marah padaku bukan? kalau kau tidak marah, kau akan memanggilku Khana yang merupakan panggilan sayang untukku," ujarnya dengan polos, dan itu malah terlihat lucu.

Ya ampun, sekarang posisiku benar-benar dekat dengannya, bahkan hembusan napasnya pun dapat aku rasakan. Saat seperti ini otakku sulit untuk berpikir.

"Sudah ku katakan berulang kali, bahwa itu bukan panggilan sayang ku untukmu Tuan Dane," ujarku.

"Benarkah? Lalu ..."

"Dane, apa yang kau lakukan?"

Boss In Love [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang