Dua Puluh Sembilan

18.3K 580 8
                                    


Kupandangi rumah besar dihadapanku ini. Setelah memantapkan hatiku selama berhari-hari, akhirnya hari ini aku berada di sini.

Ting ... Tong ...

Kutekan bel di depan gerbang, dengan segera Pak Rudi keluar dari pos satpam dan membukakan gerbang.

"Eh, Nyonya. Silahkan masuk Nyonya," ucapnya sopan.

"Terima kasih Pak," jawabku ramah.

Aku melenggang menuju pintu utama rumah, sebelum aku hendak membuka pintu tiba-tiba keluarlah seorang wanita cantik yang tak lain adalah Teressa. Aku mengenalnya karena selama ini aku diam-diam mengikuti aktivitasnya dengan Ayya.

"Eh? Cari siapa ya Mbak?" tanyanya sambil menatapku lekat-lekat.

"Boleh saya masuk dulu?" tanyaku kembali.

"Ya silahkan Mbak," ucapnya setelah sepersekian detik nampak berpikir dahulu.

Aku masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa ruang tamu. Kuperhatikan suasananya masih sama. Foto pernikahan kami bahkan masih terpajang di dinding ruang tamu.

"Mb .. Mbak Syaqira ya?" tanya Teressa tiba-tiba. Sepertinya dari tadi ia memperhatikan wajahku dan baru mengenalku sekarang.

"Iya, aku Syaqira dan kamu Teressa kan?" jawabku sambil tersenyum.

Tanpa kusangka ia langsung berdiri dan duduk di sampingku. Kemudian ia pun memelukku.

"Maafkan aku Mbak. Aku wanita yang jahat. Aku ... Aku-" ujarnya terbata-bata sambil menangis.

"Shuttt ... Diamlah Teressa. Di sini aku yang salah. Aku sudah tahu semuanya tentang pernikahan kamu dengan Khana." ucapku sambil mengelus punggungnya. Ia melepaskan pelukannya dan menatapku.

"Karena Mbak telah kembali, maka aku bersedia untuk pergi Mbak. Aku akan mengembalikan semua kebahagiaan Mbak lagi. Aku janjiaku akan pergi," ucapnya.

"Tidak ada yang akan pergi," ucap seseorang di belakang kami.

Ku lihat ternyata Khana telah berdiri di ambang pintu sambil memandang ke arah kami berdua.

"Teressa masuk. Aku akan bicara pada Syaqira," ucapnya dingin.

Entah kenapa tapi hatiku sakit mendengar Khana memanggil nama asliku. Tanpa banyak bicara Teressa meninggalkan ku dan Khana di ruang tamu.nKhana pun duduk bersebrangan denganku.

"Ada apa kau kemari?" tanyanya langsung.

"Memang seharusnya aku disini bukan? Ini rumah suamiku dan anakku berada di sini. Jadi seharusnya aku kesini," jawabku memberanikan diri.

"Seharusnya kau disini? Lalu dari kemarin kau belum sadar bahwa kau seharusnya berada di sini?" tanyanya yang sukses memohok hatiku.

"Aku-" ucapku tak kuasa meneruskan kalimatku.

"Baiklah. Aku tak mungkin mengusirmu karena kau masih resmi menjadi istriku. Tinggallah di sini jika kau tak punya malu, tapi ingat jangan ganggu hidupku dan Teressa," ujar Dane sambil berdiri hendak pergi.

Aku hanya diam dan entah kenapa rasanya lidah ku kelu untuk sekedar menjelaskan semuanya.

"Oh ya satu lagi. Cepat atau lambat aku akan segera mengurus surat perceraian kita," ujarnya sambil berlalu.

Apa? Cerai? Setelah hampir satu tahun aku berjuang untuk tetap hidup dan setelah aku kembali Khana malah menyuruhku untuk pergi lagi? Aku tak akan pernah diam.

Sementara itu Dane melangkahkan kaki menuju kamarnya dengan Syaqira dulu. Kamar itu masih sama, karena Teressa tinggal di kamar yang bersebelahan dengan kamar itu. Dane pun menatap kosong keluar jendela. Dahulu ia sering melakukan itu dengan Syaqira.

Ceklek ...

Pintu terbuka, kulihat ke arah pintu di sana Kia tengah berdiri menatapku, dengan langkah pelan ia berjalan dan menutup pintu kembali. Ia memandangi seluruh isi kamar, memang tidak ada yang berubah.

"Ada apa kau kemari?" tanyaku.

"Ini kamarku bukan? Tadi kau sudah mengizinkan ku untuk tinggal disini kan?" tanya dia dengan mata yang tak lepas berpandangan denganku.

Harus ku akui bahwa sifatnya yang dulu di awal kami bertemu kembali lagi. Sifat keras kepalanya, kekonyolannya dalam bicara, dan sifat angkuhnya. Jujur, aku merindukan Kia yang telah menjadi istriku. Kia yang hangat, penurut, dan lembut. Aku memang tahu bahwa itu sifat aslinya dulu. Tapi setelah menjadi istriku Kia benar-benar mengubah kebiasaan buruknya, walaupun tidak semuanya tapi aku sangat menghargai perubahannya.

"Silahkan Nyonya tak tahu malu. Aku akan keluar," ucapku.

Aku memang sangat-sangat mencintainya, merindukannya, tapi rasa kecewa dan ego ku lebih mendominasi dari pada itu semua.

"Segitunya kah engkau Khana membenciku?" tanya Kia.

"Aku tidak tahu. Kau bisa tanyakan pada dirimu sendiri, jika posisimu ada di posisiku apa yang akan kau lakukan?" tanyaku kembali padanya.

"Tapi kau belum mendengar penjelasanku Khana. Kau harus dengar semuanya, tak bisakah kau mendengarkan ku sebentar saja?" pintanya. Tak ada air mata di sana, tapi ada luka dalam matanya.

"Aku akan memikirkannya, apakah aku mau mendengarkan mu atau tidak. Aku takut jika alasan mu akan membuatku lebih terluka. Hiduplah dengan sesukamu Syaqira," ujarku.

"Apakah tidak boleh jika aku menginginkan orang-orang yang kucintai bahagia Khana?" Pertanyaan Kia sungguh tidak aku mengerti.

"Apa maksud mu menginginkan orang-orang yang kau cintai bahagia? Apakah aku?" tanyaku.

"Dirimu, putri kita, dan orang tua kita. Aku pergi agar kalian bahagia dan tidak risau dengan keadaanku," ucapnya lagi yang membuatku semakin tidak mengerti.

"Apa maksud mu pergi untuk membuat kita bahagia? Kau tahu dengan kau pergi justru membuatku semakin menderita. Pernahkah kau bayangkan bagaimana menderitanya aku tanpamu. Sudahlah sepertinya itu tidak penting bagimu karena kau hanya menuruti egomu sendiri" ucapku.

"Khana, aku mohon padamu. Aku-"

Aku langsung memotong ucapannya dan berkata, "Cukup Syaqira! Aku tidak mau mendengarkan semuanya sekarang. Kau pikir ini mudah bagiku? Setahun lamanya menantimu dan sekarang kau kembali begitu saja. Jangan pernah mencoba mengatakan apapun padaku sampai aku sendiri yang memintanya. Satu lagi, jangan panggil aku Khana. Khana mu itu telah mati bersama dengan Kia ku," ucapku dan meninggalkannya sendiri.

Khana pergi dari kamar, dan sepeninggalnya aku duduk lemas dipinggir ranjang. Aku menangis meratapi hidupku. Apa dia bilang? Khana telah mati bersama Kia? Sebegitu bencinya kah dirinya terhadapku? Baiklah, jika Khana dan Kia telah mati maka sekarang di sini hanya ada Syaqira dan Dane. Aku Syaqira yang kuat, aku bukan Kia yang lemah. Aku akan mengambil apa yang seharusnya aku miliki. Aku akan kembali menjadi Syaqira yang egois.

Aku memukul kepala ku, apa yang aku pikirkan? Egois? Kepada siapa aku sekarang harus bersikap egois, kepada Khana? Bahkan dengan aku pergi aku telah menunjukkan sisi egoisku.

Kuusap air mata yang membanjiri pipiku. Aku melangkah kan kaki keluar hendak menemui putriku. Ketika aku berjalan menuju Ayya, kulihat kamar di sebelahku sedikit terbuka dan hatiku remuk melihat pemandangan di depanku. Di sana Khana memeluk Teressa, dan Teressa mengelus punggung Khana seperti yang menyalurkan kekuatan untuknya. Aku segera melangkahkan kaki meninggalkan pemandangan itu. Aku harus sadar diri bahwa Teressa pun sekarang berhak atas Khana karena ia pun adalah istrinya. Aku tidak pernah menyangka bahwa pernikahan mendadak ku dengan Khana saat itu bisa menjadi seperti ini sekarang.

***

Ku pandang malaikat kecilku yang tengah tertidur pulas. Semakin kupandang ia aku semakin menyadari bahwa tindakan bodoh ku dengan pergi tanpa pamit saat itu adalah sebuah kesalahan yang amat besar.

Maafkan mom sayang, mom janji tidak akan mengulangi kesalahan mom yang kedua kali.

Boss In Love [Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang