Aku benar-benar tidak bisa memejamkan mataku, sementara jam telah menunjukkan pukul 00.05.
Aku lihat Kia telah tidur nyenyak, sepertinya ia kelelahan. Ya kami memang tidur seranjang, bukankah kami juga telah membuat kesepakatan bahwa pernikahan ini akan berjalan seperti pada umumnya?
Aku bangun dan menatap keluar jendela. aku menghela napas panjang dan kembali ke tempat tidur. Aku lihat wajah teduh Kia. Ia begitu manis ketika tidur. Aku bingung dengan perasaanku sekarang padanya, ada sebuah rasa takut kehilangan dan ingin selalu melindunginya. Aku selalu berpikir bahwa itu hanyalah perasaan sayang dari seorang sahabat. Tapi entah kenapa, sedikit demi sedikit aku mulai bisa melupakan Teressa. Walaupun perasaanku pada Teressa tidak pernah musnah.
Aku mengambil jaketku dan hendak keluar. Aku tidak sanggup lagi di sini dan melihat Kia. Aku kasihan padanya, ia harus terjebak dalam drama yang aku buat. Aku takut aku melupakan Teressa karena Kia. Tapi aku juga takut menyakiti Kia karena peraasaan ku pada Teressa.
Diperjalanan aku mengirim pesan untuk Kia.
To : Kia
Kia, aku pergi dini hari. Maaf tidak memberitahu mu dulu.
Aku tahu aku berbohong, bukankah aku pergi tengah malam? Tapi aku sengaja berbohong agar Kia tidak berpikiran yang macam-macam jika aku mengatakan pergi tengah malam.
***
Ceklek ...
Aku menoleh ke arah pintu, syukurlah ternyata Khana.
"Pagi Khana ... kamu sudah mandi?" tanyaku.
"Sudah. Kita pergi makan Kia? Keluarga telah menunggu untuk sarapan," jawab Khana.
"Baiklah Khana. Ayo kita berangkat," ujarku sambil tersenyum ceria.
Aku mengikuti langkah Khana. Kami masih di hotel dan semua keluarga pun menginap di hotel ini. Aku tidak bertanya macam-macam pada Khana tentang kemana ia pergi semalam, bukankah sekarang ia telah pulang? Bukan maksud aku tidak penasaran kemana ia pergi semalam, hanya saja aku tahu Khana belum bisa sepenuhnya menerima pernikahan ini. Aku akan memberi ia waktu untuk itu. Mungkin kata orang aku wanita bodoh yang mau begitu saja menerima pernikahan ini. Namun aku mencintai Khana, jadi tidak ada alasan aku tidak menerima pernikahan ini.
"Kia, kamu kenapa?" tanya Khana menyadarkan semua pemikiran rumitku.
"Huh? Aku? Aku gak kenapa-napa kok Khana," jawabku sambil tersenyum.
Tiba-tiba Khana menyentuh pipiku.
"Lalu kenapa matamu mengeluarkan air mata?" tanya Khana.
Aku meraba pipiku, basah. Aku segera menghapusnya. Entah darimana air mata ini aku pun tidak tahu.
"Khana, mataku kemasukan sesuatu mungkin," ujarku berbohong.
"Kita kembali ke kamar sekarang," ujar Khana sambil berlalu meninggalkan ku dan kembali ke kamar.
Aku mengikuti Khana dan masuk ke kamar. Ku lihat Khana sedang menelpon seseorang.
"Iya bu, aku dan Kia baik-baik saja."
"......"
"Heem ... Sudah ya bu."
"..."
"Aku menelpon ibu dan menjelaskan kita tidak bisa makan bersama." Khana menjelaskan padaku dan kemudian ia duduk di sampingku.
"Apa tidak apa-apa Khana?" tanyaku ragu.
"Tidak. Sekarang cepat jelaskan kenapa Kia ku ini menangis?" tanya Dane sembari mencubit pipiku.
"Aish," ujarku menepis tangannya.
"Kia ..."
Tingtong ... Suara bel memotong ucapan Khana.
"Biar aku buka dulu," ucap Khana
Tak lama ia kembali dan membawa beberapa makanan. Rupanya Khana telah memesan makanan ini.
"Makan dulu Kia," titah Khana
Aku mengikuti perintahnya dan duduk di meja. Kami pun makan dalam diam.
Setelah selesai makan, aku berdiri di dekat jendela. Tiba-tiba sebuah tangan melingkar di perutku. Aku tidak kaget dengan ini karena ini bukan pertama kalinya.
"Maaf," ucap Khana.
"Untuk?" tanyaku.
"Semalam ..." jawab Khana.
"Lupakan saja Khana. Aku tahu kamu belum siap bercerita," ucapku sambil mengusap tangannya yang melingkar di perutku.
"Aku semalam keluar sengaja karena aku tak sanggup melihatmu Kia. Aku tahu mungkin selama ini kamu tersakiti oleh semua yang telah aku lakukan. Aku minta maaf karena belum sepenuhnya menerima mu," ucap Khana.
Aku melepaskan pelukannya dan berbalik menghadap ke arahnya ku letakkan kedua tanganku di bahunya.
"Aku tahu. Dan kita akan sama-sama menghadapinya Khana. Aku akan membantumu untuk keluar dari masalahmu," ucapku sambil tersenyum menenangkan.
"Kia ... Aku tidak pantas mendapatkan wanita sebaik kamu. Kamu adalah wanita berharga yang Tuhan ciptakan," ucap Khana sambil memandang mataku lekat.
"Kenapa jadi mellow gini sih Khana?" tanyaku mencoba mengalihkan suasana karena aku terlalu malu dengan semua ucapan Khana.
"Kau malu ya? Lihat pipimu memerah," ledek Khana.
Pria ini memang amat menyebalkan. Tadi ia memujiku, dan sekarang ia malah meledekku.
"Tidak! Aku kesal padamu Khana," ucapku sambi berlalu dan duduk di sofa.
Khana mengikutiku dan duduk di sampingku.
"Tadi kau seperti yang begitu simpati padaku, dan sekarang kau kesal padaku huh?" tanya Khana.
"Hei, kau juga tadi memujiku, dan barusan kau menghinaku," jawabku tak mau kalah.
"Kau sekarang bisa membalik-balikan kata ya," kekehnya.
"Aku belajar darimu Tuan Dane Khana Balla," jawabku dan Khana mengacak-acak kerudungku.
"Hentikan Khana. Lihat kerudungku berantakan," protesku sambil memegang tangannya.
Tiba-tiba aku merasakan sakit pada perut bagian atas ku.
"Kamu kenapa Kia?" tanya Khana.
"Tidak apa-apa," jawabku sambil tersenyum.
"Benarkah? Lalu kenapa kau memegangi perutmu?" tanya dia tak percaya.
"Hah?" Aku segera melepaskan tanganku.
"Tidak apa-apa Khana percayalah," ujarku lagi meyakinkan.
"Kau yakin?" tanya Khana. Aku pun mengangguk dan bangun dari duduk ku.
"Kemana?" tanya Khana.
"Toilet," jawabku dan pergi meninggalkannya.
Aku segera masuk ke toilet dan memegangi perutku, terasa sakit sekali. Aku merutuki kebodohanku yang selama ini membiarkan penyakitku. Tapi untuk memeriksanya, aku terlalu takut. Yang aku inginkan hanya menghabiskan sisa umurku dengan baik dan bersama orang terkasihku.
Happy Reading :)
Vote dan komennya ya..
Gumawo :*
KAMU SEDANG MEMBACA
Boss In Love [Telah Terbit]
RomanceKetika pernikahan ini terjadi tanpa perkiraanku, aku mencoba untuk ikhlas. Tapi bagaimana jika perempuan lain masuk dalam hidupku, dan ikhlas tidak pernah hadir di hatiku? Mencintai itu adalah kata yang begitu menyakitkan namun tidak pernah membuatk...