Adaptasi

589 10 0
                                    

Author

Seminggu ini Reyhan dan Wildan masih tinggal di rumah orangtua Hana. Tampaknya Wildan betah tinggal di sini. Halamannya luas baik di depan dan belakang. Ada kolam ikan besar besar yang di sukai Wildan. Bahkan Wildan suka mengajak ngobrol ikan ikan itu.

Hari ini rencananya Reyhan akan memboyong istrinya untuk tinggal di rumahnya yang Reyhan beli setahun lalu.

Reyhan bukanlah laki laki perokok, juga bukan laki laki yang suka ke club. Sebagai dokter yang sedang menempuh pendidikan spesialis jantung, Reyhan terbilang cukup mapan. Sudah mempunyai rumah yang cukup untuk keluarga kecilnya.
Rumah Reyhan memang di komplek cukup elit, tapi karena diposisi pojok, jadi kelebihan lahannya ia beli sekalian. Makanya halaman rumah Reyhan juga cukup luas. Tetapi di banding rumah orangtua Hana, tentu jauh lebih luas tempat tinggal Hana. Halaman depan dan belakang ada beberapa pohon buah dan beberapa tanaman hias di sekitarnya.

"Papa, Idan pengen di sini aja. Idan pengen main sama ikan ikan tiap hari," rengek Wildan yang menolak kembali ke rumah Reyhan.

"Papa sama mama Hana kan mau tinggal di rumah papa, Dan. Kita bisa nginep di rumah eyang Djoyo setiap sabtu....gimana?" Reyhan berusaha membujuk.
Akhirnya Wildan mengangguk.

--------------------

Hana pov

Akhirnya sampai juga kami di rumah mas Reyhan. Cukup asri walaupun tidak seluas rumah mama. Rumah mas Reyhan berada di pojok, sehingga bisa dibuat pintu depan dan pintu samping.

Mas Reyhan belum membuka praktek di rumah. Rencananya kalau sudah lulus program spesialis jantungnya baru mas Reyhan membuka praktek pribadi.

Aku tidak kesulitan dengan mengasuh Wildan. Selain karena aku sudah terbiasa menghadapi anak anak, Wildan memang sudah dekat sebelum aku menikah dengan mas Reyhan.

Ada bi Inah juga yang membantu pekerjaan rumah sehari hari.

Aku juga masih diijinkan mas Reyhan mengasuh play group,  bareng Wildan setiap hari mas Rey mengantar dan menjemput kami.
"Nanti mas jemput seperti biasa ya," katanya. Aku mengangguk seraya mencium punggung tangannya diikuti Wildan.
Beberapa pengasuh lain memperhatikan kami sambil berbisik bisik.Ah...pasti mereka mau menggodaku.

--------------

Sudah jam 3 sore mas Reyhan belum juga menjemput kami. Wildan sudah mulai rewel dan ngantuk. Berkali kali aku telepon mas Rey, tidak diangkat.
Oke....aku mencoba berprasangka baik. Mungkin sibuk dan tidak sempat melihat hp.
Tapi setelah jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, aku sudah tidak bisa lagi bertahan.
Aku menggendong Wildan berjalan ke depan menanti taksi lewat. Alhamdulillah ada taksi lewat. Aku segera mengajak Wildan menaiki taksi.

Dengan hati sedikit kesal, aku berusaha menghilangkan pikiran buruk. Akhir akhir ini mas Reyhan sibuk....sangat sibuk
Sampai susah di hubungi.
Tapi apa salahnya kalau memberitahu tidak akan menjemput. Ditambah tidak bisa dihubungi.

Saat sedang kesal begini, airmataku  tiba tiba menetes tanpa bisa kutahan.
Betapa sulitnya menahan emosi.
Aku pejamkan mata mencari ketenangan

Sesampai di rumah segera aku memandikan Wildan. Aku mencoba menetralkan hatiku.

Sejam kemudian mas Reyhan tiba di rumah. Ia langsung memelukku dari belakang."Maaf sayang....tadi betul betul aku nggak bisa keluar," katanya. " Nggak papa " jawabku lirih. Tapi toh airmata tak bisa ditahan. Menetes begitu saja.

"Hei, Han....kamu menangis," ucap mas Rey ketika tangannya merasakan tetesan air.
"Mas, ini kali ketiga aku menunggu dan mas Rey nggak bisa di hubungi," kataku sedikit ketus.
Aku memejamkan mataku. Sesibuk inikah seorang dokter? Dan sebentar lagi jika program spesialis jantungnya kelar, pasti akan semakin sibuk.
Aku sendiri juga heran dengan diriku sendiri. Sedikit ada yang kurang pas, rasanya pingin marah.
"Tolong mas, hubungi aku kalau memang mas Rey sibuk. Dengan begitu aku tidak akan menunggu," ucapku.
"Mas, kita sama sama belajar dalam rumahtangga ini, jika komunikasi diantara kita kurang baik, maka sulit kita bisa mengatasi masalah yang ada. Ini baru sepele mas, belum kalau aku hamil, punya bayi, hamil lagi, punya bayi lagi...." ucapku sedikit meninggi.
"Hei....emang mau punya anak berapa sih," kata mas Rey yang seketika membuatku merona.
Mas Rey tertawa renyah. Mas Rey tampak mengerutkan kening.
Tiba tiba" Han gimana kalau kita mempekerjakan sopir? Aku bisa menyisihkan sebagian untuk menggaji sopir. Lagipula sebentar lagi juga aku mulai praktek di rumah......gimana? Biar kita nggak bertengkar terus seperti ini " kata mas Rey panjang lebar." Oke, bagus kayaknya, mas Rey juga nggak mondar mandir. Dan lagi kita berbagi rezeki dengan memberi pekerjaan orang lain," sahutku lega.

Iya, sejak saat itu kami mempekerjakan sopir. Kebetulan bi Inah keponakannya dari kampung mencari pekerjaan, dan ia sudah biasa dimintai tolong oranglain dengan membawa mobil.


Alhamdulillah....


Aku Ingin Mama Seperti Bu GuruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang