12: Sahabat dan Saudara

362 22 0
                                    

12
Dave

Beradu mulut sama Dylan itu, santai aja. Nggak usah berapi-api. Akhir-akhirnya, dia pasti nyerah.

Ruang BK rasanya ga enak banget sekarang. Benar kata Vira, Bimbingan Konseling bergeser pengartian.

"Kita ngapain gitu yok," ajakku.

"Buset," Maritza tersentak. "Ngapain ngapain?"

"Gaje lu," kataku. "Maksudku, kita kan bisa bikin karya apa gitu, atau nyanyi-nyanyi, biar ga awkward.."

"Ah! Kaya di film Lemonade Mouth," kata Vira. "Tokoh-tokohnya masuk detention, terus pas gurunya pergi mereka bikin musik dan akhirnya mereka jadi sebuah band!"

Maritza memutar bola matanya. "Ngarep banget.."

"Ya ampun, aku cuma cerita," Vira mendesah. "Ya udah lah, aku ga usah ngomong aja."

"Yah yah, jangan dong," Danny mencoba menghibur Vira.

Vira menaikkan bahu dengan wajah 'bodo-amat'. Danny menghela napas pasrah. Aku menatap mereka dengan bingung.

Mereka bersahabat bukan? Kenapa jadi begitu? Ini bukan sedang bercanda, aku yakin. Pasti ada masalah di persahabatan mereka.

Di segala persahabatan pasti ada permasalahan. Begitu juga dengan persaudaraan.. . . . .

. . .

"Dylan, this is Dave, your brother!" kata Mom. Aku sudah memanggilnya begitu sejak perjalanan pulang dari panti asuhan. Ia yang memintaku.

"Brother? You don't even gave him birth (kau bahkan tak melahirkannya)," Dylan, saudara baruku, menjawab dengan cueknya. Aku mencoba mendekat ke arahnya, namun ia menepisku. "Go away!"

Aku menunduk. "Sorry."

"Dylan, you shouldn't do that (kau tak seharusnya melakukan itu)," tegur Mom. "He's just like you, he was born in America too (ia sepertimu, ia lahir di Amerika juga)."

"I don't care, however, he is not my brother! (aku tak peduli, bagaimana pun, ia bukan saudaraku!)"

Dylan berlari ke kamarnya tanpa mengajakku. Aku menatap Mom. Wajahnya terlihat iba.

"Maafkan saudaramu ya, ia hanya belum terbiasa," katanya.

Waktu itu, aku belum menyadari sifat Dylan yang memang sesungguhnya begitu, tidak peduli. Jadi aku mengangguk, aku memercayainya.

Namun, mengapa sampai sudah sembilan tahun, Dylan belum juga 'terbiasa'?

Sejak aku tinggal disana, aku belajar lebih keras. Aku ingin membanggakan kedua orang tua angkatku. Dan aku berhasil. Mereka membanggakanku.

Tetapi... Dylan jadi semakin membenciku. Prestasinya tak sebaik aku, dan entah, mungkin ia iri atau semacamnya. Ia terus mencaci maki diriku. Nasihat orang tuanya tak ia pedulikan, apa lagi nasihatku.

Persaudaraan kami tak pernah membaik dari dulu hingga sekarang. Entah kapan akan terus seperti ini.. . . .
. . .

"Dave," tegur Bu Sarah. "Kok melamun?"

Oh, Bu Sarah sudah kembali. Astaga, aku melamun, lagi?

"Sudah boleh kembali ke kelas lho," beliau berkata lagi.

"Oh, iya ya Bu?" aku merasa canggung karena tadi tidak memperhatikan. Di Ruang BK, hanya ada aku dan Bu Sarah. Danny, Dylan, Vira dan dua sahabatnya sudah pergi.

"Iya, liat nih, ruangannya sudah sepi. Sudah sana, cepet balik."

"Iya, Bu, maaf tadi melamun."

Aku berlari keluar ruangan itu, dan kembali menuju kelasku.

Real Friends? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang