3: Penyakit

750 39 1
                                    

3
Ayra

Ternyata Vira yang datang. Ia duduk di sebelah kasurku, di kursi yang sama dengan Maritza. Kursinya memang cukup besar.

Mereka saling tos dan Vira mengajakku tos juga. Kami tertawa dan melanjutkan obrolan. Aku terus berusaha untuk membuat mereka tertawa mendengar candaanku yang sebenernya garing. Toh mereka tetep ketawa.

Mereka belum tau. Sebenernya aku nggak demam. Bukan ini penyakitku yang sebenarnya. Aku hanya tidak tega untuk memberi tau mereka sekarang, aku takut mereka khawatir atau mengasihaniku, dan aku tak suka itu. Lebih baik tunggu saja nanti. Usahaku menyembunyikan ini pun tak sia-sia, karena mereka terlihat tak curiga sama sekali.

Untuk jaga-jaga agar mereka nggak curiga, aku menanyai Vira soal Danny.

Danny dan Vira, statusnya nggak jelas. PDKT? Udah jadian? Kata mereka sih mereka cuma sahabatan. Tapi kita semua tau kalau Danny suka sama Vira sejak lamaaa banget. Vira juga tau. Tapi perasaan Vira ke Danny yang ga jelas. Gosip tentang mereka banyak. Banget. Tapi merekanya santai aja.

"Aku lagi kesel sama dia," jawab Vira setelah kutanyai.

"Halahhh," Maritza memutar bola mata.

"Serius. Dia tuh keras kepala, aku jadi males ngomong sama dia."

Tiba-tiba kepalaku terasa nyeri lagi.

"Auuww..." rintihku.

"Kok auw?" tanya Maritza, bingung.

Eh iya. Mereka kan gak tau. Mereka taunya aku demam. Demam kok "auw." Gimana dah Ay.

"Pasti sakit tuh kalau Danny denger," aku terpaksa ngeles.

"Biasa aja. Bodo amat," Vira mengangkat bahunya. Ia langsung mengalihkan topik. "Besok kamu udah masuk Ay?"

Aku ragu menjawab. Apakah besok aku sudah pulih? Belum tau. Kalau besok aku masih seperti ini, bisa gawat kalau masuk sekolah.

Namun jika aku menjawab "tidak," mereka akan curiga penyakitku lebih dari demam.

Jadi,

"Iya. Besok aku masuk."

"Sip lahh," Maritza mengacungkan jempol.

"Oke. Sekarang main yok!" ajak Vira. Ia melihat-lihat ke sekeliling kamarku. "Ah!"

Vira menemukan papan monopoli di atas rak bukuku. "Main ini?"

"Ayok!" Maritza menyetujui. Ia meletakkan papan itu di atas kasurku, dan kami bertiga duduk melingkarinya.

Kami terus bermain, ngobrol, dan bercanda sampai adzan maghrib. Vira dan Maritza sholat maghrib, lalu pamit pulang.

Setelah mereka pergi, suasana rumahku kembali sepi. Saat itulah, penderitaanku kembali dimulai.

Real Friends? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang