37
"Kita tuh ya Dyl, sebenernya nggak ada masalah apa-apa," kata Dave, langsung to the point. "We gotta solve this. I don't wanna be a stranger to my brother."
"We're not brothers, Dave," Dylan terkekeh. "Lo cuma dateng buat hancurin ketenangan dan kebebasan gue selama ini. Gue jadi nggak bisa melakukan semuanya sesuka gue, harus terus terusan berbagi sama lo."
Dave berdecak kesal. "Sampai kapan lo mau jadi egois gitu, Dyl? Lo tuh udah besar. Udah bukan waktunya selalu pengen menang sendiri."
Dylan membuang muka. "Ada apa, sih? Kenapa lo tiba-tiba jadi peduli soal persaudaraan kita?" ia menunduk. "Dulu aja lo cuekin gue terus, mau gue ejekin gimana juga lo hampir nggak pernah bales."
"Eh? Emang pengennya aku bales ejekin gitu?" Dave nyengir kuda.
"Yaa, bukan gitu juga, Pantat Panci."
Dave terkekeh. "Tapi kan tadi lo bilangnya gitu, Ketombe Dijjah."
"Gue ketombenya lo kutunya."
"Dasar bulu ketek Harry Styles!"
"Upilnya Selena Gomez!"
"Nggak papa dong, Selena cantik," ucap Dave sambil tertawa. "See? We have no problems. Gebetannya Mimi Peri aja belagu."
Meskipun masih kesal, toh Dylan tertawa juga. "Duh, iya iya, nyerah deh gue."
Dave mengulurkan tangan lagi. "Jadi? We're brothers now?"
"We're always brothers," Dylan menyambut uluran tangan Dave.
•••
Matahari hampir terbenam. Senja memudar, langit yang berwarna oranye sebentar lagi akan menggelap.
Tiga orang perempuan dan tiga orang laki-laki berbaring di atas pasir pantai yang putih dan kasar, bercampur kerang-kerang. Mereka menatap sunset di depan mereka sambil tersenyum.
Masalah yang mereka lalui sebelumnya bagaikan hari yang awalnya terang, tapi kemudian menjadi kelam. Dari yang semuanya bahagia hingga berbagai konflik datang. Tapi mereka selalu tahu, masih ada hari esok yang akan datang. Masih ada matahari yang akan bersinar, menyinari gelapnya langit.
"Kita sahabat sejati?" tanya gadis tanpa rambut yang diapit kedua sahabatnya.
Cowok berwajah blasteran terkekeh. "Tentu saja."
Sahabat gadis tanpa rambut yang sedang memerhatikan matahari tenggelam tersenyum manis. "Real friends?"
"Real friends," cowok lain, sahabat cewek yang barusan berbicara menyetujui.
Mereka berenam pun tertawa, dan meski malam telah datang, tapi mereka yakin masalah-masalah itu takkan kembali lagi.
•••
Semua masalah punya titik temunya masing-masing. Vira pun sudah belajar itu. Kejadian dimana ia dijauhi dua sahabatnya, pertemuannya dengan seorang teman yang awalnya ia kira munafik-yang memang iya, tapi ternyata ada alasan di balik itu. Sahabat yang memiliki perasaan lain, tapi malah menjauhi di saat ia membutuhkan. Dua saudara, saudara angkat yang tak pernah bisa akur. Penyakit keras yang mungkin takkan bisa disembuhkan.
Terselesaikan karena bantuan dari sahabat.
Ayra masih terus bertahan dengan penyakitnya, meski tidak sembuh. Yang penting, ia masih punya Vira dan Maritza. Dua sahabatnya cukup untuk memupuk semangat hidup dalam dirinya.
Dylan dan Dave sekarang sudah benar-benar akur seperti saudara kandung yang seharusnya. Masih terus saling mengejek dengan "kutu Dijjah" dan "gebetan Mimi Peri," tapi justru itu yang membuat mereka semakin akrab.
Vira bahkan sekarang berteman dekat dengan Adina. Adina telah meminta maaf, Vira juga, dan mereka akur dengan mudah. Danny merasa sedikit canggung karena itu, tapi tak masalah.
Bertahun-tahun berlalu. Vira sekarang bersekolah di London, terpisah dari teman-temannya. Tapi ia yakin, suatu saat ia pasti bisa dipertemukan dengan mereka lagi.
Vira meminum secangkir kopi yang beberapa menit yang lalu diantarkan oleh pelayan. Dari sudut matanya, ia dapat melihat seorang perempuan masuk ke café. Tapi ia tidak bisa duduk dimanapun, karena semua tempat duduk sudah dipenuhi pengunjung lain. Vira pun berinisiatif untuk mempersilahkan perempuan itu duduk di sebelahnya.
"Hey!" panggil Vira. "You can sit here if you want to!"
Perempuan itu mengangguk, kemudian duduk di samping Vira. Ia tersenyum, dan melambaikan tangan kepada pelayan agar mejanya dihampiri. Sementara, Vira memperhatikan wajah perempuan itu. Ia seperti mengingat wajahnya.
"Are you Indonesian? Can you speak Bahasa?" tanya Vira. Ia lihat, wajah cewek itu seperti wajahnya, khas Indonesia.
Perempuan itu mengangguk. "Anda juga?"
"Iya..." Vira kembali memperhatikan perempuan itu, kemudian tersentak.
Perempuan itu juga terlihat kaget.
"A-Anita..?"
"Vira?"
Dan mereka secara refleks berpelukan. Ternyata, setelah sekian lama terpisah, setelah Anita pergi tanpa penjelasan dan setelah email itu, mereka bertemu lagi. Di tempat yang tak terduga, pula.
Masih dalam pelukan itu, Vira menitikkan air mata. Ia teringat akan hal yang ingin ia ucapkan pada Anita bertahun-tahun lalu.
"Alvira minta maaf sama Melanie."
~SELESAI~
.
.
.
.
.
HOREEEE!
Akhirnyaaaa. Selesai juga nih satu cerita gajelas. Jujur, mungkin aku bakal suka cerita ini kalau aja dulu bahasaku agak lebih baku dikit. Tapi gak papa deh. Hehehehe.Eh, tapi jangan remove dari library dulu yaaa. Aku mungkin bakal kasih info2 atau extra parts di sini😄
Thanks for all readers! Meski dah mendekati 40 part tapi yang baca cuma 2k-an, but that's ok. At least I tried. Aku bakal buat cerita lagi yang HARUS lebih baik dari ini.
Bye Real Friends?😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Real Friends? ✔
Teen FictionDi segala persahabatan pasti ada permasalahan. Karena itulah, persahabatan tak selamanya mudah. Pasti akan datang hal-hal yang akan merusaknya. Entah dari orang lain atau dari diri sendiri. Fitnah, kebohongan, hilangnya kepercayaan, semuanya dapat...