13: Upacara

330 24 0
                                    

13
Ayra

Hari Senin, 17 Agustus. Waktunya upacara kemerdekaan. Semuanya sudah siap, berbaris rapi di lapangan sekolah kami yang luas. Para petugas upacara, termasuk Vira, berdiri di sisi lapangan dengan pakaian yang lengkap; kemeja dan rok atau celana putih serta peci hitam dengan pin merah putih.

Danny menghampiri Vira, entah untuk keberapa kalinya hari ini. Aku muak melihatnya. Terus sama cowokmu aja, Vir! Ingatkah kamu sama tsahabat-sahabatmu yang ternyata kamu benci tanpa alasan yang pasti?

Surat itu. bukti-bukti yang tercantum disitu. "A" si penulis surat... siapakah dia? Bagaimana bisa ia mengumpulkan informasi tentang itu? Aku dan Maritza tentu penasaran, dan sangat ingin bertanya padanya. Namun kami bahkan tak tahu siapa nama panggilan lengkapnya. Hanya sekedar tau inisialnya.

"Siap gerak!"

Aku tersentak. Upacara telah dimulai!

Perasaanku tidak enak. Matahari bersinar terik. Jam tanganku menunjukkan pukul delapan pagi. Baru jam segini saja sudah panas. Jantungku berdebar. Sesuatu yang buruk akan terjadi.

"Indonesia, tanak airku, tanah tumpah darahku.." semua yang ada di lapangan mulai bernyanyi. Beberapa petugas menaikkan bendera merah putih perlahan di tiang bendera. Aku ikut bernyanyi dengan suara yang lirih. Aku merasa.. kepalaku sangat kepanasan.

Aku menyentuh rambutku, dan benar saja. Panas. Aku takut kalau penyakitku sampai kambuh. Kata dokter, aku tidak boleh panas-panasan.

Pembukaan UUD mulai dibacakan oleh Vira. Sekarang aku tak suka mendengar suaranya yang sebenarnya manis dan lembut. Lembut suaranya doang. Hatinya...? Ah sudahlah. Mengapa memikirkan soal itu lagi?

Kepalaku mulai terasa sakit. Sinar mentari menyorot di atasku, membuat kepalaku makin terasa panas. Pusing. Perasaanku benar. Hal buruk akan terjadi. Sekarang konsentrasiku seratus persen tidak ke upacara yang sedang berlangsung. Alih-alih aku hanya memegangi kepalaku sambil menahan rasa sakit.

Maritza yang berdiri tegap di sebelahku memandangku dengan bingung. "Ay, kamu kenapa?"

"Eh, nggak, nggak papa kok. Baik-baik aja," aku mengangguk meyakinkan. Kuturunkan tanganku dari kepalaku agar Maritza tidak curiga.

"Beneran lho ya?" tanya Maritza lagi.

Sekali lagi aku mengangguk. "Iya, beneran."

Tapi enggak. Enggak beneran. Sesungguhnya aku sedang susah payah menahan kepanasan dan rasa sakit yang menyerangku.

Kucoba untuk mengembalikan konsentrasiku ke upacara. Ke petugas-petugas. Vira. Danny. Maritza. Suara murid-murid yang sempat-sempatnya mengobrol di saat seperti ini. Guru-guru memperhatikan dengan awas. Suara pemimpin upacara yang begitu tegas dan keras. Bendera putih yang telah berkibar di atas tiang.

Suasana upacara seharusnya tidak seperti yang kudengar di telingaku. Pendengaranku menangkap kebisingan yang entah datang dari mana. Pemimpin upacara terlihat sedang meneriakkan sesuatu, namun tak ada suara yang keluar. Tiba-tiba saja semua gerakan menjadi lebih lambat.. terus melambat...

Sampai pandanganku mulai buyar. Waktu terasa berhenti. Tubuhku jatuh perlahan. Sepasang tangan yang tak begitu kuat menahanku agar tidak terjatuh. Suara-suara bising khayalanku hilang dan membawaku kembali ke suara yang nyata. Namun tetap saja bising.

Suara orang menjerit, bisik-bisik dari anak-anak, guru-guru panik. Upacara tetap berlangsung, meski beberapa barisan di kanan dan kiriku bubar secara tak sengaja.

Itu hal terakhir yang kulihat dan kudengar. Semua kebisingan hilang, berganti menjadi kesunyian. Semua keributan hilang, menyisakan ruangan hitam pekat dalam pandanganku.

- - -

Ayra kenapa yaa?? Hehehe ada yg penasaran kah? Semoga yg baca semya selalu suka ceritanya yaa💕💕 jgn lupa vote, comment and follow me! Hehehe thank youu... xx -Vari

Real Friends? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang