30
Danny"Danny!"
Dengan tergopoh-gopoh, aku menghampiri Adina yang tadi memanggilku. Aku membawa tiga tas plastik di tangan kananku, dan dua tas kertas di tangan kiriku. Semuanya adalah hasil dari aktivitas berbelanja Adina.
Cewek itu sendiri, hanya menjinjing tas pink-nya yang jauh lebih kecil dari salah satu tas belanjanya yang dibawa olehku. Ia sedang mengagumi pakaian yang ada di depannya.
"Gue pengen inii! Kali-kali jalan ke mall pake ginian lucu nggak sih?" kata Adina sambil mengambil pakaian tadi. Rok terusan warna merah bermotif bunga-bunga kecil.
Susah payah aku mencoba menahan tawa. Ya ampun. Itu adalah pakaian yang biasanya nenekku sebut daster, sering beliau pakai di rumah sehari-hari. Kelihatan sekali kalau itu baju rumah, bukan baju untuk nge-mall.
Kupikir-pikir, aneh juga kalau ada cewek yang tidak tahu itu.
"Itu bukan buat jalan-jalan, kali," ucapku. Akhirnya tawaku berderai. Adina menatapku bingung, tidak mengerti.
Ia memukul lenganku karena aku tak berhenti tertawa. "Apaan sih? Gue nggak ngerti."
Justru itu membuat tawaku semakin keras. Aku menggelengkan kepalaku sambil berjalan pergi, mengindar, agar Adina tak memintaku membelikannya daster itu. Adina yang masih bingung, mengembalikan 'pakaian nge-mall'-nya, lalu berlari kecil mengikutiku dari belakang. Aku hendak menghampiri Dylan dan Anita yang sedang duduk-duduk di warung lesehan dekat sini.
Sesampainya disana, mereka sedang asyik dengan dua piring pecel lele milik masing-masing. Saat aku duduk di sebelah Dylan, ia sedang menyeruput es tehnya.
"Dor," seruku dengan pelan, tak bermaksud mengejutkan Dylan.
Tapi dia terkejut.
Dylan tersedak, kemudian terbatuk-batuk. Sontak Anita dan Adina tertawa. Aku terkekeh melihat Dylan yang tak bisa berhenti batuk.
Ia menatapku dengan kesal. "Awas aja─ uhuk! Elo─ uhuk! Dan, Danny! Uhuk!"
"Apaan sih, gaje," aku menggelengkan kepala, masih sambil tertawa seperti tadi.
Anita, dengan sisa-sisa tawanya, berusaha berbicara denganku dan Adina. "Kalian mau pesen apa? Aku bayarin."
"Eh, serius?" Adina langsung bersemangat setelah mendengar dua kata terakhir Anita. Ia langsung merebut menu makanan yang baru saja kusentuh.
Sementara Adina memilih pesanan dan Anita melanjutkan makan pecel lele, Dylan mengambil ponselnya dari saku celana jeans-nya. Ternyata ponsel itu bergetar, ada yang menelponnya.
"Siapa?" tanyaku padanya.
Dylan tak menjawab, ia hanya mengerutkan kening, kemudian menjawab panggilannya.
•••
Hampir setengah jam Vira, Ayra dan Maritza menangis di dalam gudang tempat mereka terjebak. Itu gara-gara satu kalimat yang Ayra ucapkan, tentang penyakitnya.
Namun tak ada waktu untuk bersedih saat mereka terperangkap di tempat asing.
Dengan kerja sama, mereka bisa membuka pintu gudang. Maritza menggunakan jepitnya untuk membuka kuncinya, kemudian ketiganya mendobrak pintu itu.
"Aku mau telpon Anita," kata Vira. "Yakin, deh. Ini pasti ada hubungannya sama dia."
Ayra mengangguk. "Aku juga."
Air mata Vira kembali mengalir. "Kamu ga kenapa-napa kan Ay? Gak pusing lagi kan?"
"I'm okay, Vira."
Susah payah Vira menahan tangisnya. Ia tak mau bersedih dulu, meskipun sakit rasanya saat mengetahui rahasia besar sahabatnya. Tapi Ayra sangat tabah, bahkan tak menunjukkan kesedihannya. Maka ia juga tak boleh menangis sekarang.
Kembali ke tujuan, Vira menelpon Anita. Ditekannya nomor Anita di layar ponselnya, kemudian ia menempelkan ponsel itu di telinga kanannya.
Ayra dan Maritza menunggu sambil menggigit jari. Menunggu hasil percakapan. Ada rasa curiga terberisit di hati Maritza. Sepertinya ada yang aneh dengan Anita.
Tapi Vira malah menurunkan ponselnya dari telinga.
"Nomornya nggak aktif."
"Emm.. Punya nomer orang yang deket sama dia?" tanya Maritza, berusaha membantu.
"Ah, ada," jawab Vira. Ia segera mencari nomor itu. "Si Dylan."
Tak lama, sambungan terhubung.
"Dylan?"
"Ya?" Dylan di ujung sana langsung menjawab.
"Lagi sama Anita nggak?" tanyaku dengan suara serak.
"Ada, ini di depanku," jawabnya. "Mau ngomong sama dia?"
"Iya lah."
"Oke."
Terdengar suara Dylan berbincang dengan Anita sesaat, namun tak jelas. Kemudian suara Dylan terdengar jelas lagi.
"Anitanya malah lari, Vir. Nggak tau kenapa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Real Friends? ✔
Teen FictionDi segala persahabatan pasti ada permasalahan. Karena itulah, persahabatan tak selamanya mudah. Pasti akan datang hal-hal yang akan merusaknya. Entah dari orang lain atau dari diri sendiri. Fitnah, kebohongan, hilangnya kepercayaan, semuanya dapat...