15
ViraDanny sedang di kelas Sejarah, jadi aku tidak ada teman sama sekali. Sejak Ayra dan Maritza menjauhiku, hanya Danny-lah yang bisa menemaniku di sekolah. Yang lain? Tidak ada yang mengerti sifatku, jadi nggak enak kalau bicara dengan mereka.
Sekarang aku duduk sendirian di Ruang Kesenian sambil bertopang dagu. Harusnya kami membuat kerajinan, bukannya mendengarkan penjelasan panjang lebar seperti sekarang ini.
Guru Kesenian sedang memberi tahu kami rencana pameran di akhir tahun. "Jadi, besok saat tutup tahun kita akan membuat─"
Brak! Pintu kelas dibuka dengan keras. Seorang anak perempuan yang berponi dan rambutnya dikepang masuk dengan terburu-buru.
"Eh, Bu, maaf, saya terlambat," kata anak itu.
"Kau selalu terlambat, Anita."
Oh, namanya Anita, pikirku. Ia hanya nyengir dan garuk-garuk kepala. Guruku mempersilahkannya untuk duduk di tempat mana saja yang kosong, dan dia memilih duduk di sebelahku.
"Hey," sapanya. "Duh, aku ganggu kelas banget ya?"
"Enggak kok," jawabku. Ia tersenyum manis. Wajahnya cantik dan bersih. Anita menyandarkan tubuhnya di kursi, napasnya masih terengah-engah.
"Eh, nama kamu siapa?" tanyanya.
"Vira," jawabku. "Salken, Anita."
"Hehe, udah tau namaku ya?" ia menggaruk kepalanya lagi.
"Baru tau tadi sih, pas Bu Rin ngomong ke kamu. Hehehe."
"Oh, iya juga ya?" iya terkikik kecil. "Kayanya aku sering denger soal kamu.."
"Gosip," aku memutar bola mata. "Bukannya sok atau gimana ya.. tapi banyak yang sering omongin aku. Dan aku ga suka itu."
Anita tersenyum masam. "Sayang banget pada bicarain kamu. Mereka padahal ga tau kan, yang sebenernya kaya gimana?"
"Betul banget," aku mendesah pelan. "Apa lagi, sampe ada yang fitnah aku, dan itu bikin aku dijauhin sama dua sahabat terbaikku. Mereka pergi karena alasan yang nggak bener. Padahal katanya sahabat..."
Nyadar kalau aku malah curhat, aku menepuk dahiku. "Sorry, sorry, aku agak kesel. Malah curhat, hehehe."
"Gak papa kok, aku ngerti itu pasti ngeselin." Anak berponi itu ikut bertopang dagu sepertiku. "Hmm, mungkin aku bisa bantu kamu."
Mataku langsung berbinar-binar. "Serius?"
"Iya lah, ngapain bercanda soal kaya gini," jawab Anita dengan mantap.
Aku terdiam, berpikir. Baru saja aku mengenalnya. Apakah dia bisa dipercaya?
Tapi siapa lagi yang mau membantu? Danny? Bukan tipe orang yang punya ide-ide cemerlang. Dia jarang berinisiatif untuk membantuku. Kalau ada ide pun, ehm, ya.. ga pernah berhasil.
"Oke," akhirnya aku menjawab. "Makasih ya An!"
"Sama-sama," ia tersenyum, lalu mengajakku untuk tos.
Aku menepukkan tanganku ke tangannya, lalu kami tanpa sadar tertawa.
"Vira, Anita, apa yang lucu?" tiba-tiba Bu Rin bertanya.
Aku bingung mau menjawab apa. "Eh, yang lucu, itu.."
"Mukanya Bu Rin pas jelasin lucu banget, Bu! Imut-imut gituu, gemes!" jawab Anita asal.
Murid-murid tertawa, bahkan Bu Rin juga.
"Hahaha, bisa saja kamu. Sudah sudah, kembali ke diskusi soal pameran."
"Yahh...."
•••
"Hoy," aku menepuk pundak Danny.
Ia menoleh. "Hoy, apaan?"
"Kamu kenal Anita?" tanyaku. Bel pulang baru saja berbunyi, dan kami sedang berjalan ke parkiran.
"Gak kenal sih, cuma sekedar tau aja," jawab Danny. "Memang kenapa?"
"Aku baru kenalan sama dia tadi di kelas Kesenian," jawabku. "Katanya Anita, dia mau bantu aku untuk selesaiin masalahku. Yang soal Ayra sama Maritza."
Wajah Danny terlihat tak yakin. "Ati-ati aja."
Aku menatapnya dengan bingung. "Eh, kenapa memangnya?"
"Banyak yang bilang, Anita manis luarnya doang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Real Friends? ✔
Roman pour AdolescentsDi segala persahabatan pasti ada permasalahan. Karena itulah, persahabatan tak selamanya mudah. Pasti akan datang hal-hal yang akan merusaknya. Entah dari orang lain atau dari diri sendiri. Fitnah, kebohongan, hilangnya kepercayaan, semuanya dapat...