16: Bantuan

285 16 0
                                    

16
Danny

Vira berteman dengan Anita.

Hmm, aku belum pernah bicara dengan anak itu, meski hanya sekedar berkenalan atau menanyakan sesuatu. Namun aku sudah sering dengar cerita tentangnya, dari Dylan.

Dylan... aku tak tau bagaimana perasaannya terhadap Anita, tapi yang pasti dia bilang kalau Anita sering berbohong, menyebarkan cerita tidak benar, dan menghasut orang.

Dari kata-katanya yang menjelaskan anak itu, awalnya kupikir dia tidak menyukai Anita. Tapi...

"Cantik dan bad girl," ucap Dylan waktu itu. Ia menyeringai. "My type."

Aku hanya menaikkan alis setelah mendengar kata-katanya yang konyol itu.

Tapi Anita katanya mau membantu Vira. Bodohnya aku, kenapa aku tak menawarkan bantuan duluan ya? Sebenarnya sih, aku bisa membantu mereka, tapi yang jadi masalah itu Anita-nya.

Aku nggak begitu yakin idenya bener. Sudah kubilang ke Vira, tapi ia tak mendengarkan.

"Elah, udah jelas dia mau bantu kok. Santai aja," begitu katanya tempo hari.

Jadi ya... aku ngikut aja. Biasanya Vira gak salah pilih jalan. Semoga kali ini juga begitu.

•••

Suara lagu jadul yang biasanya disetel ayahku tiba-tiba terdengar. Ah, pasti asalnya dari handphone-ku. Ayahku yang menyetel nada dering HP-ku, dan ia tak membolehkanku untuk menggantinya. Aneh memang. Ayahku gila pada lagu-lagunya. Dan hebatnya, ia bisa membuatku suka lagu-lagunya juga.

Kulihat layar sentuh HP-ku. Dylan. Tumben dia telpon. Segera, aku menggeser icon telpon berwarna hijau ke samping.

"Halo?"

"Woy, Dan, ke Starbucks yang deket rumahmu ya, sekarang juga," perintah Dylan. "Cepetan! Ada yang harus kita bicarain."

"Eh? Ngapain kesana?" tanyaku.

"Udah, kesini aja dulu, entar aku jelasin!"

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Iya deh iya. Tunggu!"

Klik. Sambungan diputus oleh Dylan. Aku segera bersiap-siap.

•••

Saat sudah sampai di Starbucks, aku segera memarkir sepedaku dan masuk. Aku mencari-cari anak cowok yang tinggi, berambut kecoklatan dan putih. Cukup mudah menemukannya, dia duduk di depan sebuah meja kecil untuk empat orang, dan di sisi meja yang lain... ada seorang cewek. Rambutnya dikepang dan berponi.

Aku segera menuju ke tempatnya, dan ia dengan cepat menyadari kedatanganku. Begitu juga cewek berponi itu.

"Hey, Dylan," sapaku.

"Woy Danny, cepet juga lo dateng," kata Dylan. "Duduk dulu."

Si cewek memperhatikanku. Sepertinya aku tau siapa dia.

"Anita," kata Dylan, seakan bisa membaca pikiranku.

Oh, itu Anita ternyata. "Oh, ya ya, salken, aku Danny."

Sebenarnya aku ingin bertanya ke Dylan, "Dia siapanya lo?" tapi ga enak lah, ada orangnya di depanku gini.

"Salken," jawab Anita singkat.

"Jadi, ngapain suruh gue kesini?" tanyaku tanpa basa-basi lagi.

Dylan memberiku satu gelas plastik berisi kopi yang entah apa. Di gelas itu tertera nama... Deni. "Minum dulu lah."

"Kok gitu tulisannya?" aku menatap tulisan 'Deni' di gelas itu sambil tertawa kecil.

"Gak tau tuh, mbaknya," jawab Dylan santai. Aku mulai meminum kopiku, dan sepertinya Dylan akan memulai penjelasannya. "Oke oke, jadi gini...

"Lo udah tau kan kalau Anita mau bantu Vira?"

"Udah," jawabku.

Akhirnya Anita angkat bicara lagi. "Nah, kita bicarain rencana itu sekarang."

Real Friends? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang