21: Ketemuan

269 20 3
                                    

21
Vira

"Ya... Kamu harus coba lah ajak mereka. Katanya ga mau gini terus? Mau bersahabat sama mereka lagi? Kalau mau ya jangan takut-takut. Jangan mikir kalo respon mereka bakal negatif."

Aku hanya meringis mendengarkan Anita yang dari tadi nyerocos soal rencananya.

"Emm... Tapi An.."

"Oh, c'mon, Vira. Perasaan dari kemaren kamu udah yakin soal ini? Kenapa sekarang jadi ragu-ragu?" tanya Anita lagi. Ia menatap bingung ke arahku yang cuma bisa meringis sambil ber"tapi-tapi"an.

"Tapi..."

"Tuh kan, tapi lagi. Bosen dengernya, Vir."

Dan sekali lagi, aku meringis.

Anita menepuk dahinya. "Hadeh. Yaudah lah Vira... Kayanya ini bukan waktu yang tepat buat ngomong sama kamu." Ia beranjak dari kasurnya, lalu mengambil HP-nya. Ia kelihatan serius, berkali-kali mengerutkan kening. Sepertinya dia lagi chatting sama seseorang.

"Vir," panggil Anita. "Ke kafe mau gak?"

Aku menaikkan alis. "Kafe? Kafe mana?"

"Yang di bawah," jawab Anita.

"Ngapain?"

"Diajakin sama Dylan. Dia bosen katanya," jelas Anita. "Atau mungkin lebih tepatnya.. Nggak betah."

"Nggak betah?" tanyaku penasaran. "Karena apa?"

"Temen sekamarnya."

Aku mengangguk mengerti. "Orang yang dia ga suka ya?"

Anita mengangguk dengan tak yakin. "Eng... Ya, lebih tepatnya Dave. Saudara angkatnya."

Sempat aku terkejut, namun tak lama, karena kemudian aku ingat soal hubungan mereka yang nggak baik.

"Jadi? Gimana? Mau gak?" Anita bertanya lagi.

"Mau deh," akhirnya aku menjawab. "Bentar ya, aku siap-siap dulu."

"Yaa aku juga lah," Anita tertawa kecil.

Belum sempat aku mulai bersiap-siap, lagu 22 dari Taylor Swift berbunyi. Ada telpon dari... Danny. Segera aku mengangkatnya.

"Emm, halo?"

"Vir? Bisa ke kafe yang di bawah sekarang?" tanya Danny.

"Aku emang mau kesana. Sama Anita, sama Dylan."

"Oh... Yaudah, aku kesana juga. Aku mau kasih tau sesuatu dan ngenalin seseorang."

Sesorang? Si Adina itu kah? "Siapa?"

"Yaaa, liat entar lah."

"Hmm. Oke."

Klik. Sambungan diputus.

"Siapa Vir?" tanya Anita yang sekarang sedang mengepang rambut panjangnya. Ia bisa mengepang rambutnya dengan sangat rapi, dengan berbagai macam model pula. Aku? Ah, paling rapi juga cuma kucir satu ekor kuda.

"Danny," jawabku. "Dia mau ke kafe juga."

•••

Sampailah Anita, Dylan dan aku di kafe. Oiya, sama Dave juga. Dia maksa mau ikut karena bosan juga di kamar terus. Dan Dylan, dengan terpaksa membolehkan.

Disana ada Danny dan... seorang..... cewek... hey, aku tau dia! Dia cewek yang mencurigakan waktu ujian Bahasa Indonesia waktu itu. "Rombongan"-ku bergabung dengan mereka berdua, dan aku menatap cewek itu dengan tatapan aneh. Entah kenapa, tapi kok menurutku wajahnya ngeselin ya?

Jadilah kami berenam duduk di sekitar sebuah meja yang melingkar.

Kok jadi rame banget gini ya, pikirku.

"Hai," sapa Danny pada kami. "Gue pesenin es teh lima doang. Ga tau kalo Dave mau ikut. Kalo Dave mau minum dan yang lain pada mau pesen selain es teh silahkan pesen sendiri-sendiri ya.."

Ini cuma perasaanku aja, atau Danny emang lagi salting ya? Tumben amat ngomong panjang lebar gitu. Biasanya irit ngomong.

"Iya iya, lo ga bilang aja dah tau kok Dan," jawab Dylan dengan santai. "Jadi... Siapa inii..??" Dylan menunjuk cewek-mencurigakan-waktu-ulangan-Bahasa-Indonesia a.k.a cewek di sebelah Danny.

"Adina," jawab cewek itu.

KAN BENER.

Semuanya tersenyum dan saling jabat tangan sama Adina, termasuk aku. Tapi aku fake smile sih.

Kenapa?

Aku punya perasaan kalo cewek ini bakal bawa masalah.

Real Friends? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang