Intuisi Jones

750 66 26
                                    



Februari, 2014.

Suasana kelas XII IPS 2 penuh dengan anak-anak yang sedang mondar-mandir, ada yang di depan kelas, di belakang kelas, ada pula yang mondar-mandir di tempat duduknnya. Duduk, lalu berdiri, lalu duduk lagi, lalu duduk kembali. Pasalnya, mereka semua sedang harap-harap cemas. Pengumuman 75% anak yang bisa mencalonkan ke jalur SNMPTN tinggal beberapa menit lagi.

Di kursi paling pojok kelas, ada Kaila yang sedang menelengkupkan kepalanya. Satu-satunya hal yang ingin ia lakukan adalah: menangis. Mengingat semester satu dan dua, Kaila selalu mendapat peringkat ke-empat dari bawah, dari 38 anak yang berada di kelasnya. Tapi, sisi lain hatinya juga berharap bisa masuk ke daftar 75% siswa  yang bisa mendaftar SNMPTN karena ...

"Puji Tuhan, gue bisa daftar."

"Eh demi apa udah bisa buka? Aduh gue gimana ya?"

"Shit, gue ngga lolos 75%."

"Alhamdulillah, gue masuk."

"Anjir ... anjir ... gue enggak masuk, aduh masa depan gue."

"MAN! GUE LOLOS ANJAY! SELEBRASI DULU LAH!"

Kaila, masih di kursinya, mendengarkan suara teman-temannya yang berteriak senang, ada juga yang berteriak sedih dan kesal. Jantungnya semakin berdetak tak karuan, memikirkan warna tulisan apa yang akan ia baca di web yang akan ia buka. Merah atau biru.

"Kai, enggak buka?" tanya Ghaida, teman sebangkunya.

Bukan memberi jawaban, Kaila hanya menatap lekat teman sebangkunya. Dengan pandangan cemas dan menahan air mata pastinya. Menggeleng sebentar, lalu gadis itu memilih menyender ke tembok yang ada di sebelahnya. Seakan, dengan menyender pada tembok hijau muda itu ia bisa mengetahui hasilnya.

"Lo enggak buka, Da?" tanya Kaila.

"Maunya sih buka, tapi ngga ada paket. He he he," aku Ghaida malu. "Ini mau minjem hape lo sih, kalo ada paket."

Senyum maklum tercetak di bibir tebal Kaila. "Ini pake aja." Sambil menyodorkan ponsel putih ke hadapan teman sebangkunya.

"Thanks, ya!"

Hanya anggukan yang diberikan Kaila sebagai jawaban. Ghaida pergi keluar kelas, untuk mencari sinyal karena di dalam kelas sinyal sangat susah, meninggalkan Kaila sendiri di pojok kelas.

Kaila merasa lebih baik seperti itu. Biarkan Ghaida dulu yang mengetahui hasilnya, karena seingat Kaila, rata-rata nilai dia dan teman sebangkunya itu lebih tinggi sedikit nilainya. Kalau teman sebangkunya masuk ke dalam jajaran anak 75%, berarti dia juga masuk. Tapi kalau teman sebangkunya itu tidak masuk, maka ...

"Ir ... Irlandi, udah buka?" tanya Nima.

Kuping Kaila langsung terbuka, matanya pun juga langsung nyalang memandang ke arah pintu kelas yang tepat ada dilurusnnya, memperhatikan dua orang yang sedang berbincang.

Tidak, lebih tepatnya memperhatikan Irlandi. Dalam tumpukan buku diari Kaila, ada satu buku khusus yang isinya menceritakan perasaannya pada Irlandi. Bahkan, hanya buku diari itu yang diberi nama. Manusia Favorite. Entah mendapat ide darimana, nama aneh itu terlihat bagus di sampul buku diari miliknya.

"Belum, kamu udah?" tanya Irlandi.

"Gue udah, Alhamdulillah dapet." Senyum bangga Nima terpampang jelas.

Membuat mata Kaila yang tadinya memancarkan rasa cemas, berganti menjadi rasa iri dan sebal sekaligus.

"Wah, selamat ... selamat," ucap Irlandi. "Saya ke tempat saya dulu, ya."

Realita JONESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang