Ketika JONES Bertasbih

868 67 58
                                    


Author : al-al12

***

"Usia kamu sudah 34 tahun lho, Nyu." Umi mencibir seperti biasa begitu aku pulang kampung tiap akhir pekan. Beliau menggantung jaket yang baru aku lepas, lalu membuntutiku ke dapur. "Masa kamu ndak ada keinginan untuk menikah?" tudingnya yang sudah aku hafal di luar kepala.

Aku hanya mendesah berat, membuka kulkas, mengambil sebotol air mineral dari sana kemudian menuangkannya ke dalam gelas.

"Kamu ingat Aryanto?"

Keningku mengerut, mencaruk-caruk memori di kepala untuk mengingat nama Aryanto. Tidak ada. Aku lupa. Kutenggak air mineral dingin itu dalam sekali teguk. Mataku terpejam, tetapi telingaku tajam mendengar setiap perkataan yang diucapkan Umi.

"Anaknya Pak Lik Wiyono, baru berumur 28 tahun, tapi sudah menikah dan memiliki dua anak," bilang Umi melanjutkan. Dari ekor mata, aku bisa melihat Umi menghempaskan diri di kursi yang ada di dapur. Matanya menatapku tajam. Bibirnya yang selalu berwarna merah walaupun tak pernah memakai pemoles tersebut mengerucut.

Kumasukkan botol air mineral ke kulkas, lalu berjalan ke wastafel untuk mencuci gelas yang baru aku gunakan.

"Ingat Budianto?" Umi masih terus saja menjejalkan informasinya kepadaku.

Dahiku kembali berkerut. Budianto? Siapa dia? Aku tidak ingat, Umi. Suara gemericik air keran meningkahi curhatan Umi. Sekaligus mencoba menilapkan segala gundah yang berkecamuk dari pikiranku.

Selalu seperti ini. Hampir tujuh tahun belakangan ini, Umi menghunusku dengan pertanyaan itu-itu saja: kapan kamu menikah? Kapan kamu membawa mantu ke rumah? Kapan kamu menganugerahi Umi cucu-cucu yang menggemaskan? Yang semuanya berujung pada jawaban yang sama, tidak pernah berubah dari pertama kali pertanyaan itu terpecut dari lidah Umi, sampai sekarang: Banyu belum siap nikah, Umi.

"Dia baru berumur 22 tahun, Nyu, tapi bulan lalu sudah lamaran sama Santi dari desa sebelah."

Aku manggut-manggut. Menuangkan sabun cair ke dalam gelas kemudian mencucinya.

"Bahkan, Engkos yang baru lulus SMA itu, sudah bisa menghamili anak gadis orang."

Astagfirullah.

Aku menggeleng, membilas gelas kemudian meletakkannya di almari. Aku berbalik, menghadapi Umi. Wanita anggun dalam balutan gamis serta jilbab syar'i itu tampak cantik dan menawan. Wajahnya putih bersih, matanya menyiratkan wanita cerdas pujaan Alquran. Dia menghela napas panjang. Menyandarkan punggung di sandaran kursi.

"Umi kangen suara bayi di dalam rumah Umi, Banyu."

Seketika itu juga, jantungku tertohok tanpa ampun. Dadaku bergetar hebat. Ah, kalimat itu. Pernyataan itu ... sungguh menamparku pada kenyataan paling pahit dalam hidupku. Umi kangen suara bayi, seperti menuangkan secanting ladu dalam jenjamnya atma yang selalu aku paksakan.

Mataku terpejam. Hatiku tidak tenteram. Jangankan diminta, jika aku bisa membawakan surga ke pangkuan Umi, aku akan mengusahakannya. Lidahku ini tidak pernah bilang 'tidak' untuk semua kemauan Umi. Dari dulu, dari aku mulai belajar berjalan hingga berlari, alam sudah mendidikku untuk hormat pada Umi. Patuh pada setiap perkataan Umi.

Namun untuk masalah ini. Pernikahan. Ah ..., aku tak kuasa menyampaikannya. Aku tak kuasa melihatnya menderita.

"Apa Umi salah jika Umi menginginkan cucu? Apakah permintaan Umi ini sangat sulit untuk kamu kabulkan? Apakah Umi harus mati bunuh diri dulu supaya kamu mau mengabulkannya?"

"Astagfirullah, Umi!" Aku terkejut. Mataku menanap seketika. Kugelengkan kepala tidak percaya mendengar ucapan Umi barusan. Dadaku seperti tersengat aliran listrik yang membuat seluruh tubuhku bokoh. Bagaimana dari lidah yang selalu melafalkan ayat Alquran itu, Umi bisa berkata sedemikian rupa? Membunuh diri? Ah..., kalimat itu sungguh sangat mengejutkan, pun menyakitkan bagiku.

Realita JONESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang