Terendap JONESku

1.3K 78 92
                                    


Author : Ray_Amur

******




Boleh jadi perempuan merasa memiliki kepentingan untuk menjaga kehormatannya, sebelum melewati rentetan peristiwa yang menghalalkan, wanita mati-matian menjaga diri dari jamahan lelaki hidung belang, yang mana hanya menginginkan tubuhnya saja tanpa memiliki keinginan dalam hubungan yang terikat oleh agama dan adat.

Lalu bagaimana dengan lelaki yang merasa dirinya diperkosa oleh keadaan, sebuah peristiwa masa lalu menempatkannya pada pria yang tak layak untuk perempuan yang mampu menjaga kehormatannya?

***

"Akang tentu tidak asing dengan pernyataan yang mengatakan perempuan baik tentu untuk lelaki yang baik," ujar Narawara dengan senyuman mengembang. Tanpa menunggu orang yang diajaknya bicara menjawab, kembali ia melanjutkan ucapannya, "Untuk itulah aku menjaga kesucian yang hanya kuberikan pada lelaki yang benar-benar aku cintai dan memilki komitmen sepertimu."

Dalam tenggat waktu sepersekian detik Jinggala tertegun. Udara dingin yang semula mencukur habis wilayah Lembang tak lagi ia rasakan. Matanya memicing tanpa berani diperlihatkan pada gadis di sebelahnya. Sebuah pengakuan hampir saja tercetus dari bibir cokelatnya yang selalu bercumbu denganku. Ia diam dalam menimbang.

"Kang?"

Suara Narawara dengan segera memulangkan kesadaran Jinggala bahwa saat ini berada di atas lantai bambu, tepat di seberang jalan hamparan perkebunan teh menghijau.

"Maksudmu?" tanya Jinggala, pandangannya tetap tertuju pada pucuk-pucuk teh yang dibasahi embun-embun sore. Perkebunan yang berada tepat di persimpangan jalan menuju gunung Tangkuban Perahu ini memang memberikan udara yang mencekik. Kabut-kabut tipis seolah dipaksa turun dari puncak untuk menghasilkan udara lembab.

"Akang tidak mendengarkanku?" selidik Narawara, ia meraih wajah lelakinya, memaksa berhadap-hadapan seolah mencari sesuatu yang disembunyikan Jinggala.

Lelaki berusia seperempat abad itu mendesah perlahan lalu menguraikan senyuman. "Ya, ya. Aku sependapat denganmu."

Narawara tersenyum lega, membetulkan posisi duduknya. Angin pegunungan menyapu wajahnya, ikut menggerakkan rambut bergelombang yang dibiarkan jatuh bebas menggerai pundak.

"Pulang, yuk!" Jinggala berdiri sambil memulas jemari tangannya menjulang hingga ke atas kepala.

Narawara mendongak dengan memajukan bibir berisinya. "Aku masih ingin di sini, Kang. Baru setengah lima 'kan?"

"Aku harus mempersiapkan daganganku, Sayang."

Jinggala turun dari kedai berdinding papan, tangannya menggenggam kantong hitam berisikan tempulur jagung bakar lalu melemparkan pada tebing yang hanya berjarak lima depa.

Narawara tidak memiliki pilihan lain, dengan berat ia mengangkat bokongnya. Gadis berbulu dahi tebal bermuka bulat telur itu menghampiri teteh penjaga kedai dan membayar pesanannya. Dengan setengah berlari ia menuju tempat parkir di mana Jinggala yang sudah duduk nyaman di atas motor.

Narawara merentangkan tangan ketika melaju di sisi kiri jalan yang menghubungkan Bandung-Subang, membiarkan angin hasil kecepatan motor menyapu seluruh permukaan tubuh. Tingkat kesengangannya meningkat bila memiliki kesempatan bersantai bersama kekasihnya ini. Waktu untuk bersama memang tidak banyak. Bahkan ia tak pernah merasakan bagaimana asyiknya bermalam Minggu dengan Jinggala, layaknya pasangan lain menghabiskan akhir pekan dengan layar bioskop atau ke tempat-tempat wisata romantis.

Realita JONESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang