#Episode I

17.2K 2.4K 398
                                    


Percayalah ketika aku mengatakan aku ini gadis biasa, aku benar-benar bermaksud mengatakan hal itu.

Aku memang gadis biasanya.

Moon Ahrin, lahir di Busan 17 belas tahun yang lalu dan jadi anak tunggal.

Tidak ada yang spesial dariku, kecuali mata abu-abu yang kata Ibu bawaan lahir dari Ayah.

Aku tidak pernah melihat Ayah, bahkan fotonya sekali pun. Tidak pernah. Tiap kali aku menanyakan hal itu, Ibu akan selalu memberi jawaban yang sama.

''Ayahmu tidak suka berfoto,'' atau ''Ibu tidak pernah mengambil gambar dari ayahmu.''

Ya, jawabannya akan selalu sama. Aku terus menanyakan hal itu sampai umurku delapan tahun dan aku memutuskan untuk berhenti menanyakan hal itu karena jawaban Ibu tidak akan pernah berubah.

Yang aku tahu, Ayah orang yang tampan. Ibu yang bilang begitu. Hanya itu saja, tidak lebih.

Kehidupanku juga tidak jauh beda dari siswa biasanya, kecuali fakta kalau aku lebih muda satu tahun dari teman sekelasku. Maknae. Aku maknae di kelas.

Soal otak? Aku biasa saja. Satu-satunya pencapaian tertinggiku adalah saat aku berada di urutan ketiga teratas saat tahun kedua di bangku sekolah menengah atas.

Satu-satunya hal yang kusyukuri adalah karena aku tidak pernah menginjak posisi terbawah.

Ya, mungkin aku tidak akan pernah. Karena posisi itu seakan jadi milik Park Jimin seorang.

Park Jimin.

Aku hanya pernah melihat mukanya sekali dalam satu semester.

Tiap kali dia datang, dia hanya hadir untuk mengambil nomor undian kursi. Lalu hari berikutnya, dia tidak datang.

Banyak orang yang bertanya kenapa siswa aneh sepertinya tetap dipertahankan di sekolah. Ya, aku juga tidak mengerti. Tapi pertanyaan itu mulai memunculkan gosip kalau Park Jimin mungkin saja mendapat perlakuan khusus di sekolah.

Selama tiga tahun berada di Haesang—dan ini tahun ketigaku—tidak pernah ada siswa yang menjadi omongan siswa lain selain Park Jimin. Laki-laki itu benar-benar populer di kalangan kami.

Oh, aku tidak termasuk.

Teman-temanku pernah membicarakannya. Dan hal buruk terjadi.

Aku ingat betul bagaimana Jaebum terlempar ke jendela saat hari pertama di semester tiga. Dia membicarakan Jimin dan tepat di saat yang sama, Jimin baru masuk ke ruang kelas.

Terakhir yang kutahu, Jaebum dirawat ke rumah sakit karena patah tulang. Setelah itu dia dipindahkan ke sekolah lain sementara Jimin....

Entahlah. Dia masih tetap bersekolah di sini. Bagaimana bisa, ya, aku juga tidak mengerti.

''Ahrin, mau ke kantin tidak?''

Aku menoleh ke kanan dan mendapati Sejeong di depan pintu kelas tengah melambaikan tangannya ke arahku.

''Istirahat masih lima belas menit lagi. Ayo.''

''Ayo,'' sahutku cepat sebelum aku beranjak dari kursi dan menghampirinya yang menungguku di depan pintu.

''Kemana Yerim?''

''Dia ke kantin duluan.''

''Ah... begitu.'' Aku bergumam kecil sambil berjalan di samping Sejeong.

Tak butuh waktu lama kami sudah sampai di kantin. Meja-meja di kantin sudah sangat penuh, kecuali satu meja kosong di sana.

''Ya, sudah penuh,'' keluh Sejeong. Gadis itu meninju pelan lengan kiriku. ''Kita terlambat.''

The Prodigy ♤ (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang