Jimin terdiam begitu mendengar pertanyaan yang Miko ucapkan. Meskipun begitu, Jimin masih tetap pada ekspresinya yang tenang. Dia bahkan tidak menoleh ke arah Miko.''Jimin, kau tahu hal itu, 'kan?''
''Setidaknya tidak ada korban. Video itu mengantisipasi mereka.''
''Kau bisa mencegah bom itu. Kenapa tidak kau lakukan?''
''Kalau kulakukan, taruhannya pasti gagal.''
Miko mengerutkan keningnya. Taruhan gagal? Jadi kejadian bom hari ini itu taruhan? Taruhan apa? Kenapa taruhannya sampai membuat nyawa banyak orang tercancam?
''Kenapa kau melakukan hal ini?''
Jimin masih tetap diam, namun kali ini dia mengalihkan pandangannya ke arah Miko. Laki-laki itu masih bersikap tenang. Dengan langkah yang santai dia melenggang keluar dari ruang keluarga.
Tapi sebelum Jimin benar-benar keluar dari ruangan itu, dia memberikan jawaban pada Miko. Sebuah jawaban yang membuat Miko justru semakin kebingungan.
''Ini akan menjadi langkah untuk mengungkap seberapa buruk para petinggi sialan itu, Bibi.''
***
Malam ini, Ahrin tidak merencakan hal apapun. Dia ingin mengistirahatkan pikirannya dan sedikit relaksasi di rumah. Dan bagi Ahrin secara pribadi, makan malam dengan ibunya, Nyonya Moon, merupakan relaksasi terbaik sepanjang masa.
Mungkin suasana terasa sepi jika hanya ada dua orang dalam satu keluarga. Tapi bagi Ahrin itu bukan masalah. Kehadiran ibunya sudah lebih dari cukup.
Ahrin masih asik makan masakan yang sudah ibunya buatkan, begitu juga dengan sang ibu. Keduanya tengah menikmati makan malam mereka .
''Syukur kau tidak apa-apa.'' Nyonya Moon membuka percakapan. ''Kau benar-benar tidak terluka, 'kan?''
''Tidak, kok,'' Ahrin tersenyum kecil dengan kepalanya yang menggeleng, ''untungnya saat itu aku ada di luar.''
''Lho, bomnya ada di dalam sekolah?''
Kepala Ahrin mengangguk sedang mulutnya menguyah makanan yang ada di depannya.
''Tapi ada baiknya juga sih bom itu. Kami jadi diliburkan beberapa hari.''
Ibu Ahrin tertawa kecil, ''Jadi kau bersyukur ada bom itu?''
''Bukan begitu, Bu. Maksudku....'' Ahrin jadi gelagapan. Bagaimana menjelaskannya, ya? Bukan berarti dia ingin ada bom di sekolahnya, hanya saja mendapatkan hari libur itu hal yang bagus bukan?
Ibunya masih tertawa sambil membereskan piring dan sendok yang ada di atas meja makan.
''Jadi besok kau mau tetap di rumah? Atau Sejeong dan Yerim mengajakmu untuk bermain?''
Ahrin menggeleng. ''Belum ada rencana. Mungkin aku akan tetap di rumah be—''
Kalimat Ahrin spontan terpotong begitu ponselnya yang dia letakkan di atas meja makan bergetar.
Nyonya Moon sendiri tersenyum sambil melirik ponsel Ahrin. ''Ibu rasa kau akan jalan-jalan besok. Bersama... Taehyung?''
Rasanya Ahrin mendapat serangan jantung kecil saat melihat nama yang muncul di layar ponselnya. Gadis itu memandangi ibunya sesaat, sementara sang ibu masih tersenyum manis padanya.
''Ibu sudah bilang padamu waktu itu, 'kan? Kalau Taehyung sih, Ibu rasa tidak apa-apa.''
Ahrin sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud ibunya. Jadi Ahrin hanya menggembungkan pipi sebelum beranjak dari meja makan.
''Aku angkat teleponnya dulu, ya?''
***
''Hai, Rin.''
''Ah, Taehyung.''
''Apa aku menganggu?''
''Tidak kok. Aku juga sedang senggang.''
''Benarkah?''
''Um. Tadi aku baru selesai makan dengan Ibu.''
''Begitu, ya?''
''Ngomong-ngomong, ada apa, Tae?''
''Um... begini. Besok kau ada rencana?''
''Tidak juga sih. Memang kenapa?''
''Bisa temani aku besok? Aku mau ke bioskop. Ada film bagus, sayangnya teman-temanku tidak tertarik. Bagaimana?''
''Bagaimana, ya?''
''Aku sudah pesan tiket dua, jadi tenang saja.''
''Bukan itu maksudku, Tae. Aku hanya merasa sedikit tidak....''
''Jadi, tidak bisa?''
''Bu...bukan begitu.''
''Lalu?''
''Um, aku akan menemanimu. Jam... jam berapa?''
''Jam 10. Aku akan menjemputmu nanti.''
''Baiklah.''
''Tapi kau benar-benar tidak keberatan, 'kan? Aku takut malah mengganggu jadwalmu.''
''Ah... tidak apa-apa. Terima kasih sudah mengajakku.''
''Terima kasih kembali.''
''Kalau begitu—''
Tit.
Jimin langsung menutup aplikasi yang tengah dia buka dari laptopnya dan berhenti mendengarkan percakapan tadi. Tangannya langsung bergerak memijat pelipisnya selagi dia menghela napas panjang.
Dia baru ingat kalau besok libur, dan itu berarti beberapa siswa akan berpergian keluar.
Sebenarnya kalau siswa yang lain tidak masalah, tapi Jimin tahu betul, setelah kejadian bom itu siswa dengan nama Kim Taehyung tidak bisa dibiarkan bepergian sendirian. Dan lagi, bersama dengan Ahrin.
Tidak. Tidak. Ini akan jadi hal buruk.
Masalahnya adalah, topik soal bom di sekolah masih jadi perbincangan hangat, dan mungkin saja Ahrin dan Taehyung akan membahas hal itu.
Dan kalau itu terjadi, Jimin bisa pastikan akan ada hal buruk yang terjadi. Bagi Taehyung, maupun bagi gadis itu.
Jimin langsung menjatuhkan kepalanya ke atas meja dekat komputernya. Nampaknya dia harus menerapkan rencana dadakan sekarang.
Besok, Jimin akan menjadi penguntit khusus untuk Taehyung dan juga Ahrin.
''Kalau Taehyung dibiarkan sendiri, laki-laki itu pasti akan muncul lagi. Aku harus mencegahnya.''
***
Arata's Noteu:
Oke. Mungkin dapat clue baru soal bom di sekolah? Dan lagi, ada pertanyaan baru. Laki-laki yang dimaksud Jimin siapa, hayo?
Mungkin di awalnya jadi bikin bingung, bikin pusing. Tapi aku bakal berusaha bikin pertanyaan-pertanyaannya bakal dijawab ke depannya. Pelan-pelan dong. Yang nulis gak mau kalah ama BigHit. ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prodigy ♤ (✓)
Fanfiction[AVAILABLE ON GOOGLE PLAY STORE/PLAY BOOK] [Full version for sale only.] Sebelumnya, yang kutahu Park Jimin hanyalah anak nakal yang jadi bahan omongan siswa lain. Dia tidak punya teman, dan dia bahkan tidak punya bakat. Dia aneh. Tapi hari itu, aku...