Hujan.
Angin.
Dan juga nyala api yang tak kunjung padam di tengah jalan.
Jimin ingat betul bagaimana tubuhnya yang kedinginan dilumuri dengan darah. Matanya hanya bisa terbuka lebar melihat beberapa orang-orang yang disebut polisi itu mengerumuni mobil yang sudah hancur di sana.
Sementara di pinggir jalan, Jimin terus meringis dan menangis karena semua yang baru saja terjadi.
Itu kecelakaan. Kecelakaan yang merengut semua orang yang ia sayang. Kejadian yang merengut semua kebahagiaan yang Jimin miliki.
Kecelakaan.
Rasanya ingin sekali Jimin menyalahkan dirinya atas keputusan bodoh yang dia buat.
Jimin masih memikirkan semua itu hanyalah kecelakaan sampai dia menemukan sesuatu.
Kecelakaan itu memang sudah direkayasa.
Seorang Ketua Divisi Pertahanan dalam Kepolisian tidak akan mati begitu saja. Hanya karena kecelakaan? Tidak. Rasanya itu terlalu sulit untuk diterima.
Memang tidak ada yang mustahil, hanya saja—untuk yang satu ini—terlalu banyak hal yang ganjal.
Kedua mata Jimin masih terpejam selagi pikirannya menjelajahi masa lalunya sendiri sampai terdengar suara.
Boom!
''Mereka sudah mendapat balasannya.''
Laki-laki itu membuka matanya untuk melihat seorang gadis yang ada di dekatnya. Moon Ahrin.
''Kucing ini tidak bisa membalas, jadi kurasa bom di sana cukup untuk membalas mereka.''
''B...bom?''
Ahrin tidak mengerti. Kenapa dari topik soal kucing bisa tiba-tiba mengarah pada... bom? Bom? Di sekolah?
Yang bisa Ahrin lakukan hanyalah berdiam diri sampai ponselnya bergetar beberapa kali.
Grup SNS dari kelasnya seketika berubah ramai.
Tepat di saat yang bersamaan, sebuah panggilan masuk diterima oleh Ahrin. Sejeong. Sahabatnya itu meneleponnya.
''Rin, kau sudah benar-benar pulang?''
''Kau masih ada di dalam gedung?''
''Oh, astaga. Aku benar-benar panik. Bagaimana keadaanmu?''
Ahrin menjauhkan ponselnya dari telinga karena jeritan Sejeong yang langsung menusuk ke telinganya.
Perlahan Ahrin menghembuskan napasnya kasar sebelum menjawab, ''Aku di luar kelas. Jadi tenanglah sedikit.''
''Katanya ada ledakan di sekolah.''
''U...um,'' Meski ragu Ahrin mengiyakan. ''Di dalam gedung sekolah.''
''Kau baik-baik saja, Rin?''
''Ya. Aku baik... Kurasa begitu.''
''Syukurlah.''
Bisa Ahrin dengar suara Sejeong yang mengecil. Ada hembusan napas lega dari ujung sana.
''Aku takut kalau kau dalam masalah.''
''Ngomong-ngomong, kenapa bisa ada ledakan?''
''Entah. Aku juga tidak tahu.
''Tapi banyak kabar aneh yang beredar lho, Rin.''
''Kabar?''
Kedua sudut Ahrin meninggi begitu dia mendengar Sejeong. Kabar apalagi? Mitos apalagi yang tersebar?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prodigy ♤ (✓)
Fanfiction[AVAILABLE ON GOOGLE PLAY STORE/PLAY BOOK] [Full version for sale only.] Sebelumnya, yang kutahu Park Jimin hanyalah anak nakal yang jadi bahan omongan siswa lain. Dia tidak punya teman, dan dia bahkan tidak punya bakat. Dia aneh. Tapi hari itu, aku...