(Miss Jimin, anyone?😄)
.
.
.
Ini suara Jimin.Mau berapa kali pun gadis itu berpikir, sekeras apa pun dia mencoba mencocokkan suara yang dia dengar dengan suara orang lain, yang muncul hanya satu nama.
Park Jimin.
Dan Ahrin makin yakin kalau orang yang menelponnya adalah Jimin ketika sebuah pertanyaan diajukan padanya.
Pertanyaan yang hanya akan ditanyakan oleh Jimin.
''Kau bertemu Taehyung tadi, Rin?''
Tidak bisakah laki-laki ini setidaknya basa-basi, menyapa dengan ''Selamat sore'' atau bertanya kabarnya lebih dulu sebelum menyakan hal yang begitu?
Yah, ini memang Jimin. Jimin sekali. Memang bukan tipikal yang suka basa-basi.
But, seriously? Setelah kabur dan pergi seenaknya tanpa ada penjelasan pasti, dan ini kalimat pertama yang Ahrin dengar?
Wah. Hebat. Ahrin menyindir dalam hati.
''Rin, kau masih di sana?''
Ahrin mengerjapkan matanya beberapa kali. Mengomeli Jimin dalam hati ternyata membuatnya diam tanpa sadar. Dia melamun.
''Aku masih di sini,'' jawab Ahrin yang diikuti dengan desahan kasar, ''dan kabarku buruk. Terima kasih karena tidak bertanya.''
''Kau jadi sedikit sarkas rupanya, ya?'' Nada bicara Jimin terdengar menyelisik. ''Apa yang terjadi?''
''Well, Park Jimin dan Kim Taehyung pergi tanpa mengatakan apa pun padaku, dan tidak mengabariku. Mereka jahat sekali, bukan?''
''Aw, kau sarkas sekali.''
''Dan kau penyebabnya, sialan.''
Anehnya, Jimin masih bisa tertawa. Meski Ahrin tahu itu bukan tawa yang lepas, tapi dia bisa menerka kalau Jimin senang. Apa tidak menghubunginya membuat laki-laki itu senang?
Dengan suara yang sedikit melengking dari sebelumnya, Ahrin kembali mengomel. ''Kau menertawakan apa, huh?''
''Kau.''
''Oh, kau pikir aku lucu, begitu?''
''Tepat.''
Astaga. Rasanya Ahrin ingin memukuli Jimin saja kali ini. Kenapa rasanya menyebalkan sekali? Sudah tertawa begitu, bisa-bisa dia mengejek sekarang. Keterlaluan.
Jimin masih tertawa. Dia sendiri tahu dia agak keterlaluan, tapi jujur saja Ahrin lucu. Ini hiburan kecil untuknya yang belakangan merasa otaknya mungkin bisa pecah kapan saja.
''Kau lu...''
''Aku khawatir, bodoh. Kalian berdua membuatku tidak tenang.''
Kali ini Jimin yang diam. Suara tawanya terhenti begitu saja sementara Ahrin terdengar terus mengoceh.
''Kalian keterlaluan. Setidaknya pamitlah dulu sebelum pergi. Beritahu aku!'' teriak Ahrin. ''Setidaknya katakan sesuatu padaku. Katakan padaku kalau kalian akan baik-baik saja dengan rencana gila kalian itu.''
Emosinya meluap. Ahrin merasa napasnya berubah tidak beraturan, dadanya mengembang dan mengempis dengan tempo cepat, dan matanya terasa perih. Sesuatu seakan mau tumpah detik ini.
''Setidaknya anggap aku sebagai teman kalian.'' Suaranya kini terdengar parau, dan semakin lama semakin memelan. Jimin merasa tidak berguna ketika dia mendengar sebuah helaan napas berat di ujung sana, diikuti desisan yang berlanjut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prodigy ♤ (✓)
Fanfiction[AVAILABLE ON GOOGLE PLAY STORE/PLAY BOOK] [Full version for sale only.] Sebelumnya, yang kutahu Park Jimin hanyalah anak nakal yang jadi bahan omongan siswa lain. Dia tidak punya teman, dan dia bahkan tidak punya bakat. Dia aneh. Tapi hari itu, aku...