Bagian 9

3.4K 316 6
                                    

Sebuah pintu ditutup dengan keras, terdengar suara kunci yang diputar dari luar. Ana memukul-mukul pintu besar berwarna coklat itu, berteriak dan memohon untuk dikeluarkan dari ruangan asing dimana kini ia tengah berada. Namun para pengawal Majid tidak menghiraukannya, mereka pergi meninggalkan Ana yang masih memukul-mukul pintu.

Lelah berteriak dan tahu yang dilakukannya sia-sia, Ana mulai menilik ruangan yang menjadi kurungannya saat ini. Sebuah ruangan besar dengan banyak perabot antik di tiap sudutnya, sebuah tempat tidur besar berkelambu merah marun dan sebuah sofa dengan warna senada, jendela besar dengan mosaik di keempat sisinya terlihat bagaikan bingkai dengan warna yang indah berpendaran karena sorotan cahaya lampu taman. Ana menghampiri jendela besar itu, ia memegang gagang jendela, mencoba untuk membukanya namun sayang terkunci. Diluar jendela ia bisa melihat taman yang tadi ia datangi, sangat indah namun keindahan itulah yang kini membawanya kedalam sebuah penjara. Ia kesal pada dirinya sendiri, ia menendangi jendela itu namun percuma saja karena jendela itu terlalu kokoh untuk dihancurkan.

Setelah menangis semalaman kini matanya sembab, tangannya perih karena terus menerus ia benturkan ke pintu, suaranya mulai serak, Ana telah bangun dari tidurnya beberapa saat lalu. Keadaannya sangat berantakan, ia melihat pantulan dirinya di cermin, tangannya luar biasa pegal karena borgol yang mengikatnya membuat ia tak dapat leluasa menggerakkannya. Ia duduk ditepi ranjang, ia berpikir hari ini ia pasti akan digiring ke polisi untuk diperkarakan lalu membusuk di penjara bawah tanah di Dubai dengan dakwaan menerobos kediaman keluarga kerajaan. Ia tertunduk dalam, air matanya kini mengalir lagi meratapi nasibnya yang tak lama akan melihat dan merasakan pengapnya penjara.

Suara kunci terdengar diputar dan tak lama pintu berwarna coklat besar itu terbuka. Tiga orang wanita dengan abaya hitam masuk kedalam, dua diantaranya membawa baki dan yang satu lainnya berbicara pada Ana dalam bahasa Arab, namun apa yang dapat Ana mengerti? Ia hanya terbengong-bengong saat wanita itu terus bicara. Tahu jika Ana tak mengerti apa yang dimintanya, wanita itu kemudian menarik tangan Ana kemudian mengeluarkan kunci borgol dari sakunya.

"Abra." Ucap wanita itu menunjuk dirinya, "Fukayna" menunjuk wanita pembawa baki dengan wajah yang terus memancarkan senyuman lalu tangan Abra menunjuk satu wanita lagi, "Haifa" wanita dengan rambut berwarna merah dan mata yang besar.

Ana memandang mereka tanpa ekspresi, ia terlalu sedih untuk sebuah perkenalan. Bibirnya menyunggingkan senyuman yang tersamar karena sorot matanya yang sendu. Kini tangan Ana bebas, ia menggeliat menghilangkan pegal dipunggung dan tangannya, lengan itu terentang lebar-lebar meregangkan setiap otot. Abra menarik Ana ke sudut ruangan, disana terdapat sebuah pintu berukiran rambat dan ia mendapati Fukayna dan Haifa tengah menyiapkan air untuk mandi. Haifa menuangkan sebuah minyak kedalamnya, menguarkan aroma harum yang mendamaikan.

"Mari, biar saya bantu melepas pakaian anda." Ucap Fukayna sopan dan lembut. Abra dan Haifa tengah sibuk mengatur keperluan mandi.

"Apakah ini cara masyarakat sini untuk membuat seorang calon pesakitan merasakan kenyamanan terlebih dahulu? Sebelum ia mendekat di penjara seumur hidupnya?" Tanya Ana dengan bibir bergetar. Abra, Fukayna dan Haifa saling berpandangan, mereka tak mengerti apa yang Ana bicarakan.

"Maksud Nona?" Tanya Abra lembut sambil menenggelamkan tubuh Ana kedalam bath tube.

"Ini, perlakuan ini, apakah semua calon pesakitan mengalaminya?" Ana bertanya gamang sambil mengangkat air yang mengalir di celah jari-jarinya.

"Saya tak faham maksud Nona." Abra menjawab sambil menyisir rambut Ana dengan tangannya yang lembut dan mengolesi tiap helainya dengan sampo berbau bunga mawar.

"Apakah aku akan dipenjara?" Tanya Ana terisak. Abra tak menjawab, ia hanya fokus pada pekerjaannya sekarang.

Abaya sutra berwarna biru muda dan ikat pinggang biru tua, diikatkan dipinggang Ana yang ramping. Rambutnya tergerai bergelombang, sentuhan make up tipis dan pewarna bibir berwarna lembut membuat kecantikannya semakin terlihat. Fukayna dan Haifa pamit saat pekerjaannya telah selesai. Tak lama setelah mereka pergi, Abra meminta Ana mengikutinya menyusuri lorong dengan ukiran khas Arab dan lantai-lantai mozaik berwarna biru laut membentuk hexagonal. Sorot mata itu tak begitu memancarkan antusiasme yang ia tunjukkan malam sebelumnya, Abra pasti tengah menggiringnya keruang pesakitan yang akan ia huni selama sisa hidupnya nanti.

Alkisah di DubaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang