Bagian 12

3.3K 280 4
                                    

Angin gurun membawa sebuah kabar dari pedalaman, memanggil, mencari sebuah jiwa hampa yang bisa dibawa menembus batas fantasi dimalam yang masih berdebu namun tak kasat mata. Kabar tentang sebuah hati yang mulai tersengat teriknya matahari dikala siang, kabar tentang sebuah jiwa yang mulai terisi, kabar tentang sebuah kisah yang telah mulai dituliskan. Namun si pemilik jiwa belum menyadari gesekan angin yang menerpa wajahnya tengah berbisik pada hatinya, hati yang terdalam itu mulai menyadari namun ego tak akan membiarkan hal itu terjadi. Ia berusaha keras agar logika terus berjalan, tak memberikan sedikit ruang untuk hati menyadarinya dan hati pun terombang-ambing kedalam lautan kebimbangan.

Wajah Ana yang sangat cantik malam ini membuat Majid tak dapat terpejam di waktu tidurnya, dirinya menjadi gelisah. Ana memang tak melakukan hal istimewa malam ini, mereka hanya makan malam bersama lalu setelah itu berbincang sebentar kemudian berpisah untuk beristirahat dikamar masing-masing. Namun justru karena makan malam yang singkat dan penampilan Ana yang sangat mempesona malam inilah yang membuat Majid masih ingin berlama-lama dengannya. Tapi apa yang dapat Majid perbuat? Ana undur diri karena beralasan merasa letih dan ingin segera beristirahat. Bukankah ia sudah tidur sore tadi? Dan sempat sulit untuk dibangunkan olehnya. Majid membolak-balikkan badannya berusaha mencari posisi nyaman agar matanya dapat segera terpejam dan pikiran tentang Ana hilang, namun itu terasa sulit. Mungkin membaca buku akan membuatnya mengantuk. Pikirnya.

Ia bangkit, berjalan perlahan menuju sudut ruangan yang terdapat rak buku yang menjulang tinggi. Ia biarkan temaram lampu kamar menyinarinya memilih buku yang akan ia baca, sebagian besar buku yang ada disini berisikan tentang politik dan biografi orang-orang terkenal. Jemari kekar itu menyusuri rentetan judul yang terpampang ditiap sisi buku, keningnya berkerut, mencoba untuk memilih bacaan yang akan mengantarkannya tertidur lelap malam ini.

Majid mendaratkan tubuhnya di kursi kerja yang nyaman dekat dengan lemari besar tadi, ia tak menemukan buku yang menarik, buku-buku yang terpajang terlalu berat untuk ia cerna malam ini. Ia menghela nafas gusar, ini semua gara-gara Ana. Seharusnya ia menemaninya malam ini, bukannya malah pamit untuk beristirahat. Matanya liar mentap sekeliling, berusaha memikirkan agar ia dapat tidur dengan cepat namun tak berhasil menemukan sesuatu yang menarik hatinya. Majid menghela nafas kasar, matanya bertumpu pada sebuah kertas yang menumpuk di sebuah rak kecil diatas meja, tangannya meraih kertas itu dan menyambar bolpoin yang ada dihadapannya dengan cepat. Ia menuliskan sesuatu diatas kertas polos tersebut sambil menyunggingkan senyum.

Jemari lentik itu tak hentinya mengetuk-ngetuk layar ponsel yang ada dihadapannya, Ana tersenyum girang mendapati pesan yang dikirimkan oleh teman-temannya. Mereka menanyakan kapan Ana akan kembali dari liburannya dan banyak diantaranya yang meminta untuk dibawakan cinderamata. Pesan dari keluarganya pun ia dapatkan, terutama dari kakak sepupunya, Ira yang kini tengah berbicara dengannya melalui aplikasi video chat.

'Bagaimana liburanmu? Banyak hal yang menarik disana?' Ira bertanya riang disebrang sana.

"Hmm... banyak, teramat banyak. Ini negeri yang sangat indah." Ana tersenyum bahagia

'Kenapa baru mengabariku sekarang? Aku kira Dubai telah menelanmu. Hahaha...'

"Sedikit." Jawab Ana tersenyum getir

'Hei, ada apa?' Ira menangkap ekspresi wajah Ana yang tak seceria dirinya.

"Bukan apa-apa, hanya rindu kalian." Ana tersenyum sambil berbohong

'Ayolah, aku tak dapat tertipu dengan senyummu itu. Apakah Dubai memberikan kesulitan padamu?' Ira bertanya khawatir.

"Tidak, Ra. Sungguh. Liburan ini menyenangkan. Sudah dulu yah, aku lelah seharian berjalan kaki." Lagi, Ana berbohong.

'Baiklah, kabari aku jika kau mendapat masalah.' Ucap Ira sungguh-sungguh.

"Memangnya kalau aku sedang kesulitan disini, kau akan langsung terbang menjemputku?" Tanya Ana mencibir, Ira gelagapan menjawab.

'I-ya... kenapa tidak. Selama visaku disetujui mereka.'

"Ha-Ha." Ana tertawa mengejek sambil memutar bola mata.

Ira 10 tahun lebih tua dari Ana, ibu beranak 1 yang selalu membawa masalah jika ia tengah melancong keluar negeri. Ira selalu bersifat semaunya dan keras kepala, tak ayal jika sifatnya ini selalu menimbulkan masalah bagi orang yang tengah bersamanya. Ia akan bertindak sebagai penunjuk jalan yang handal, menolak menggunakan aplikasi penunjuk jalan yang disodorkan Ana dan hanya mengandalkan peta yang Ana yakin bahkan Ira tak dapat membacanya. Ia selalu membawa kompas bersamanya namun pada akhirnya mereka selalu tersasar. Pernah mereka tersasar hingga ke perbatasan negara lain dan bodohnya mereka meninggalkan passport mereka di hotel dan akhirnya pihak berwenang pun memberikan mereka peringatan. Selain itu, sikap semaunya Ira tak mudah untuk diredam, apalagi jika ia tengah mabuk. Ana harus bersusah payah menjaganya dan mulutnya terkadang sampai pegal karena terus meminta maaf pada orang-orang yang menjadi sasaran Ira. Berurusan dengan polisi di negara orang pun bukan hal baru bagi mereka, terutama Ira.

Setelah selesai memberikan kabar pada keluarga dan teman-teman terdekatnya, ia menyamankan dirinya dengan memberikan perawatan rutin malam hari. Ia tengah asik mengoleskan krim perawatan tubuh saat sebuah suara mengagetkannya dari arah jendela.

Duk!

Ana terdiam sejenak, mencoba menajamkan kupingnya, lalu meneruskan kembali kegiatannya tadi. Selang beberapa saat, suara itu muncul lagi.

Duk!

Ia terlonjak kaget karena suaranya lebih kencang dari yang pertama. Penasaran, ia berjalan menghampiri jendela, membuka tirai tebalnya dan mengintip keluar sana. Ia mendapati dua buah batu dengan ukuran yang berbeda tergeletak di balkon kamarnya. Ia menutup kembali tirai tebal tersebut dan berjalan menuju ranjangnya, namun

Tunggu! Batin Ana. Ia berbalik lalu membuka tidari itu kasar untuk memastikan.

Alisnya bertaut, ia membuka kaca besar itu dan menghampiri batu yang terkecil. Diana ada sebuah kertas yang di rekatkan dengan selotip. Ana membuka kertas itu perlahan

Mau pergi denganku?

- Majid

Dasar pria sinting! Untuk apa ia melakukan ini? Tengah malam begini memangnya mau kemana?. Ana mendecak kesal lalu kembali masuk ke kamarnya namun sebuah kejutan tengah menunggunya di dalam. Majid tengah duduk di tepi ranjang, memperhatikan Ana yang terkejut melihat sosoknya yang tiba-tiba ada dikamarnya tanpa permisi.

"Sedang apa kau?" Ana terkejut dan menghentikan langkahnya, mencoba memberi jarak sejauh mungkin dari Majid, radarnya bisa merasakan bahaya dari makhluk tampan yang kini tengah duduk dihadapannya.

"Jadi apa jawabannya?" Tanya Majid tenang.

"Jawaban apa?" Ana pura-pura bodoh.

"Kau membaca suratku kan? Jadi apa jawabannya?" Majid menatap Ana lurus.

Ana berjalan menuju pintu, membukanya kemudian mempersilahkan Majid untuk keluar dengan sopan. Ana mengusir pangeran aneh yang tak tahu sopan-santun ini dengan halus. Majid yang melihat hal itu langsung tersenyum girang, kemudian ia berjalan kearah pintu yang telah Ana bukakan.

"Aku tahu kau akan menjawabnya, jadi aku akan memberikanmu malam yang tak akan pernah kau lupakan. Anggap sebagai permintaan maafku karena mengganggu waktu liburanmu." Majid menggenggam kencang tangan Ana dan menyeretnya untuk mengikuti langkahnya yang tengah terburu-buru.

Ana meronta, menahan langkahnya agar tak terseret Majid namun Majid tak hilang akal, ia kemudian menggendong Ana dipundaknya dan mereka masuk ke sebuah ruangan kemudian Majid menguncinya dari dalam.

"Apa maumu??!!" Jerit Ana takut.

"Tenanglah, kau akan menyukainya..." Majid menyeringai.

***

Hello Readers... Lama tak jumpa, semoga kalian sehat-sehat yah makasih banget loh udah mau mampir kesini.

Jangan lupa KriSan-nya yah... :D

Jangan lupa juga buat mampir ke cerita saya yang lain. Siapa yang suka roti sobek???

1. Abraham's Family and Their Secrets

2. Amber Stone

Alkisah di DubaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang