Bagian 14

2.9K 232 5
                                    

Kabar kepergian Majid dengan membawa serta Ana membuat seluruh isi Istana kebingungan, mereka tidak dapat menemukan dimana Majid sekarang. Bahkan monitor yang menunjukkan keberadaan Majid dari GPS yang terpasang di mobilnya pun tak dapat membantu, mereka menemukan GPS itu telah tergeletak di lantai basement parkiran, hancur terlindas ban mobil. Para pengawal pribadi Majid pun kelabakan karena kini mereka kecolongan tak dapat mendampingi Tuan mereka. Semenjak pagi buta mereka mulai menelusuri kemana Majid pergi bersama dengan Ana namun hasilnya nihil, Saif pun ada dalam rombongan itu.

Sebuah Hammer hitam yang nampak berkilat berhenti tepat di depan pintu masuk sebuah istana kecil di padang pasir, Hammer hitam itu diikuti beberapa mobil berwarna putih yang mengiringinya. Beberapa pria tinggi tegap turun dari Hammer itu setelah pelayan-pelayan Istana membukakan pintu untuk mereka. Rashid dan Hamdan berjalan masuk menuju aula Istana, suara gaduh makin santer terdengar dari dalam, kenapa mereka semua hadir disaat Majid tengah hilang?. Beberapa pelayan nampak sibuk dengan kunjungan yang tiba-tiba ini dengan menyiapkan jamuan untuk Putra Mahkota, Hamdan dan kakaknya Rashid. Tidak biasanya Rashid dan Hamdan berkunjung ke kediaman Majid tanpa memberi tahu, ditambah Majid menghilang dari semalam. Saif yang saat itu berada di taman dan tengah sibuk menelpon Timnya yang bertugas mencari Majid segera mengahambur ke dalam Aula kemudian mendapati ke dua Pangeran itu tengah berbincang dengan Abra.

Abra yang di percayakan Majid untuk mengurus persoalan rumah tangga di Istana kecilnya bersikap diplomatis saat menerima kedatangan Rashid dan Hamdan. Mereka kini tengah berbincang menanyai kabar Majid dan keadaan Istana, Abra dibalik cadarnya menjawab dengan tenang.

"Tuan Majid dalam keadaan baik namun untuk sekarang beliau sedang tidak dapat diganggu, beliau pun mengirimkan permintaan maafnya untuk anda karena tidak dapat menemui anda secara langsung." Ucap Abra pada Rashid dan Hamdan. Hamdan menghempaskan tubuhnya pada sandaran sofa empuk berwarna gading sambil membuang nafas kasar.

"Ada hal apa gerangan yang membawa Tuan datang kemari? Maafkan pertanyaan saya jika lancang." Ucap Abra beretika, tanpa menatap ke kedua Pangeran di hadapannya.

"Kami datang kemari untuk membicarakan beberapa hal dengannya, mengenai ide proyek barunya. Ayahanda setuju dan ingin mendengar langsung bagaimana proyek ini akan berjalan dan keuntungan apa yang akan negara ini dapatkan." Ucap Rashid menjelaskan.

"Begitu rupanya, sayang sekali Tuan sedang tak dapat bergabung dengan kita. Tapi saya jamin saya akan menyampaikan maksud kedatangan Tuan kali ini." Ucap Abra sopan. Rashid dan Hamdan berpandangan, kemudian mereka bangkit dan pamit pergi dengan ditemani Abra menuju lobby Istana.

Saif yang memandang kepergian mereka dari sudut dalam aula kemudian menghampiri Abra di ambang pintu.

"kau selalu dapat menutupi semua masalah dengan baik, Habibti." Ucap Saif sambil tersenyum pada Abra, istrinya. Abra dibalik cadarnya tersenyum malu mendengar pujian dari suaminya. Keluarga Saif dan Abra dipekerjakan oleh pihak Istana sekitar 20 tahun lalu, saat majid masih berusia 6 tahun dan Saif 10 tahun mereka sudah menjadi teman sepermainan. Saif merupakan putra dari seorang pelayan yang saat itu bertugas mengurusi unta-unta kesayangan Ayahnya dan Abra merupakan putri dari kepala pelayan Istana tempat Majid dan Ibunya tinggal. Abra yang hanya terpaut 2 tahun lebih muda dari Saif bertemu dengan calon suaminya saat itu pada hari pertama ia bekerja untuk menggantikan Ayahnya, Utsman sebagai kepala pelayan di Istana Pangeran muda. Saif tak perlu membutuhkan waktu lama untuk dapat melabuhkan hatinya pada Abra yang cantik dan santun namun tegas.

Dipedalaman gurun pasir yang tandus, seorang pria kewalahan membopong tubuh seorang wanita dipunggungnya. Peluhnya menetes deras di wajah tampan itu, mata tajamnya menyipit saat ia melihat hamparan Wadi tak jauh dari tempatnya berdiri. Nafasnya tak beraturan dan jalannya tertatih, menandakan tubuhnya yang letih.

Alkisah di DubaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang