Bagian 16

2.6K 236 15
                                    

Ana masih menekuk wajahnya dalam-dalam karena perlakuan Majid semalam, ia hanya diam memandangi riak air tanpa menghiraukan panggilan Majid yang memintanya untuk sarapan. Ana hanya diam membatu saat suara Majid telah sampai di telinganya, hembusan nafas dari aroma maskulin itu menyeruak menusuk hidungnya. Gadis itu mengalihkan pandangannya pada si sumber suara, wajah tampan yang basah karena air mengagetkan Ana dan refleks menarik wajahnya mundur menjauh.

"Ayolah, kau masih marah padaku?" Majid mengangkat alisnya. Ana bangkit.

"Dan kau mengabaikan pria setampan ini?" Ucap Majid dengan percaya diri menunjuk wajahnya yang sengaja ia basahi untuk menarik perhtian Ana namun gagal.

Ana berjalan menjauh, menyampirkan syalnya dan menyebrangi sungai pada bebatuan di permukaan yang dangkal. Ia telah sampai di seberang, dan di sebrang lainnya Majid berkacak pinggang memandangi Ana. Gadis itu kembali berdiam diri mamandangi riak air dibawah bayangan pelepah pohon palem yang melindunginya dari sengatan matahari gurun yang kian memanas. ia tak memperdulikan Majid yang berteriak dalam bahasa Arab karena sikap Ana yang menjauh darinya kini.

"Ini penculikan, kan? Pria gila itu menculikku, kan?" Ana bergumam sendiri sambil melempar batu kerikil kedalam air. Besok adalah jadwal terbangnya kembali ke Indonesia, bagaimana ia bisa keluar dari gurun ini sedangkan pria yang disebrangnya terlihat tidak ada niatan untuk meninggalkan padang pasir. Ana terus melemparkan kerikil kecil kedalam air, tanpa ia sadari Majid sudah berdiri dibelakangnya sambil memegang sebuah nampan berisi makanan. 'Darimana pria ini mendapatkan makanan?', gumam Ana dalam hati.

"Seseorang mengantarkannya kemari saat kau masih tidur" Ucap Majid seolah tahu apa yang Ana pikirkan. Ia meletakkan nampan itu diatas tanah dan membuka kain yang menutupinya, sebuah kain merah yang terlihat sedikit kusam, ia melebarkannya dan menjadikannya alas untuk duduk. Pria itu duduk bersila dan memberikan isyarat pada Ana agar duduk disampingnya. Ana memandang tajam, setajam matanya memandang makanan yang ada di dalam nampan. Beberapa kali bergantian melirik pada dua objek yang menarik perhatiannya, egonya mengatakan untuk menjaga jarak dengan pria tampan tersebut nampun apa daya perutnya yang kini bertingkah. Dalam sekejap ia telah duduk berhadapan, tidak lebih tepatnya ia duduk lebih menghadap makanannya.

"ini tamis" Tunjuk Majid pada roti lebar berwarna kecoklatan. "Kau suka yang manis atau tawar? Kau dapat memakannya dengan kuah kari." Ucap Majid menjelaskan, dengan cepat tangan Ana langsung menyambar Tamis manis yang dibaluri madu dan gula. Ia mengernyitkan matanya, bibirnya mendatar kesamping, kemudian meletakkan kembali Tamis pada tempatnya. Majid tertawa melihat wajah Ana yang meringis.

"Astaga! Ini manis sekali!" Ana berusaha menelan makanannya dengan terpaksa.

"Benarkah? Ini terlalu manis?" Majid pura-pura terkejut, ia kemudian mencobanya secuil. Ia mengunyahnya pelan, seolah meresapi rasa ditiap goyangan lidahnya. Ana menunggu reaksi apa yang akan Majid tunjukkan namun pria itu terlihat begitu menikmati kunyahannya. Bosan menunggu Majid yang terlalu berlebihan, Ana mengambil Tamis tawar dengan kuah kari yang disajikan di mangkuk tanah liat kemudian duduk di atas batu di pinggir wadi. Ia menikmati Tamis dengan damai, Majid memperhatikan punggung gadis itu sambil tersenyum dan mengunyah tamisnya.

Sarapan telah usai dan mereka masih tak bersuara. Dikejauhan terdengar derap kaki kuda yang tengah berlari kencang, sepatu kuda yang terbuat dari tapal besi berbunyi nyaring menginjak bebatuan di bawahnya. Suara itu semakin dekat, Majid memasang wajah awas dan menarik tangan Ana mencoba untuk melindungi jika nanti ada yang akan membahayakannya.

Seekor kuda hitam besar berdiri dengan gagahnya dihadapan mereka, seorang pria berpakaian serba hitam menutup wajahnya dengan cadar dan memandang mereka dengan angkuh dari atas kuda. Wajah Majid semakin awas, menyembunyikan Ana dibalik badannya yang besar, Ana merangkul lengan Majid dengan sangat erat. Pria berkuda itu turun dari pelananya, ia menepuk leher kuda hitamnya lembut lalu mengikatkan tali kekangnya pada pohon palem terdekat.

Alkisah di DubaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang