Bagian 22

1.4K 125 29
                                    

Gurun tandus dan ringkikan kuda yang berdiri dikaki belakangnya serta kibaran kain satin biru muda yang dikenakan seorang model berparas jangkung dengan ekspresi wajah datar namun matanya tajam menatap kamera yang mengabadikan tiap pose yang diperagakan. Tak lama seorang penata gaya menunjukkan beberapa contoh pose yang diinginkan clientnya, kemudian beberapa model lainnya dengan pakaian abaya yang sama mewahnya berpose sesuai arahan.

Hessa yang berteduh dari panasnya mentari gurun memperhatikan proses pemotretan dari karya rancangannya sendiri. Ia cukup puas saat para  model itu memakainya, begitu cantik dan sempurna. Seorang pelayan wanitanya menghampiri sembari membawakan minuman dingin, Hessan menerimanya sambil tak lupa mengucapkan terima kasih. Sejenak setelah Hessa meneguk minumannya, pelayan itu membisikkan sesuatu pada Hessa kemudian ia menunjukkan sebuah foto. Hessa mengernyit, mengambil foto dari tangan si pelayan, nafasnya sedikit memburu, matanya melotot, ekspresinya seperti hendak meledak. Ia bangkit, meremas foto dan melemparkannya ke samping, berjalan menghampiri kru pemotretan dan berbicara pada staff disana mengenai pose yang ia inginkan. Hessa mencoba menghilangkan rasa kesalnya dengan lebih fokus pada pekerjaannya hari ini.

Sementara itu ditengah peradaban, Majid tengah menyelesaikan pekerjaannya sementara Ana bersantai di dekat jendela Burj Khalifa di lantai teratas yang hanya dipergunakan untuk ruang meeting VVIP. Hari ini ia harus menemani Majid, padahal badannya letih dan hanya ingin berbaring. Ruang santainya berada di sisi lain ruang meeting Majid, jadi siapapun yang datang menemui Majid dapat ia dengar namun tak dapat ia lihat. 

Pemandangan diluar Burj Khalifa sangat eksotik, jauh dibawah sana ia dapat melihat Dubai Fountain, matanya mengernyit mencoba memfokuskan pandangan pada restoran tempat pertama kali ia duduk bersama dengan Majid. Sayang, Burj Khalifa yang terlalu tinggi membuat semua tak begitu jelas. Seorang pengawal Majid yang diperintahkan mengurusi semua kebutuhan Ana, dengan sigap memberikan sebuah teropong yang terbuat dari perunggu. Maka dengan teropong itu ia dapat dengan jelas melihat titik pandangan yang ia inginkan.

Ia mengarahkan teropong pada segala penjuru, kemudian tanpa sengaja teropong itu berhenti pada satu titik. sepasang halis tebal yang tertaut, mata tajam yang tengah fokus pada laptop dan berkas-berkas dihadapannya, bibir kemerahan yang beberapa kali mengerucut mengikuti tautan halis yang seirama menunjukkan raut muka yang tengah berpikir keras. Kemudian teropong itu berpindah pada tangan kekar yang tengah memainkan jemarinya diatas keyboard laptop dengan lincah lalu teropong itu berpindah lagi pada sepasang mata tajam yang kini tengah menatap padanya. Ana kaget dan refleks mengarahkan teropongnya pada objek lain diluar Burj Khalifa, tertangkap basah tengah memandangi Majid membuatnya tersipu sendiri. Kemudian ia melirik pada Majid dan pria itu masih menatapnya. Pipi Ana makin bersemu merah dan jantungnya makin berdebar saat Majid bangkit dan menghampirinya.

Majid meraih teropong dari tangan Ana dan mencium punggung tangannya lembut.

"kau merindukanku?" Tanya Majid. Ana mengangguk pelan, Majid duduk disampingnya, begitu dekat hingga ia dapat merangkul lengan berotot Majid dibalik Thobe dan menyandarkan kepalanya pada lengan itu.

"Habibti, aku harus menyelesaikan pekerjaanku terlebih dahulu, kau tahu kita terlalu lama di gurun. Segera setelah semuanya selesai kita akan mengunjungi beberapa tempat bersama. Aku ingin menunjukkan kotaku padamu." Ucap Majid sambil mengusap tangan Ana.

"Aku sudah melihat banyak tempat di kotamu". Ucap Ana pelan, mata mereka bertemu, begitu dekat.. Majid membelai wajah Ana sayang.

"Memang benar, tapi kau tak pergi bersamaku,"

"Apakah ada bedanya?" Ana menarik tubuhnya.

"Tentu, denganku kau akan mendapatkan pelayanan eksklusif dari semua tempat yang kau kunjungi." Ucap Majid bangga.

Alkisah di DubaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang