Bagian 7

3.6K 300 7
                                    

Dering telpon membangunkan Ana, ia meraba-raba benda datar yang bergetar itu.

"Hei, apa kau sudah tidur?" Suara Saif terdengar di sebrang sana. Ana yang masih setengah terpejam mencoba bangkit.

"Aku sudah bangun. Ada apa?" Tanya Ana dengan suara serak.

"Ini baru jam 10 malam. Terlalu awal untuk tidur."

"Seharian ini aku tidur saja di hotel. Entah kenapa aku merasa sangat letih." Ana berbohong, padahal seharian ia menangis karena kejadian pagi tadi.

"Begitu, kau sudah makan malam?"  Tanya Saif.

"Belum" Ana menggeleng sambil mengucek matanya.

"Mau pergi makan malam denganku?" Tanya Saif sopan

"Sekarang?" Tanya Ana

"Ya. Aku sudah di depan hotelmu. Mau keluar sebentar?" Pinta Saif. Ana beranjak dari tempat tidur dan melihat penampilannya di depan cermin. Astaga, ia sangat berantakan sekali. Wajah kusut, mata sembab. Ia harus berbenah diri dulu sebentar.

"Aku akan menemuimu sekitar 15 menit lagi." Ucap Ana pada Saif, dan di sebrang sana Saif mengiyakan.

Jalanan Bur Dubai sedikit lengang di malam hari, toko-toko telah tutup dan turis-turis tidak sebanyak siang tadi. Ana dan Saif menikmati sandwich mereka dipinggir sebuah lapangan besar yang menghadap langsung ke Creek.

"Bagaimana? Enak tidak?" Tanya Saif sambil mengunyah, menampilkan pipi gembilnya yang naik turun. Ana mengangguk-anggukkan kepalanya,

"Ini burger terenak yang pernah aku makan, porsinya dua kali lipat dari yang aku dapat di Indonesia." Ucap Ana dengan mulut penuh. Tangannya menutupi mulutnya, takut jika akan ada makanan yang keluar saat ia bicara. Saif tertawa.

"Memangnya di Indonesia porsi makanannya sedikit?" Tanya Saif penasaran, ia belum pernah ke Indonesia sebelumnya, hanya mendengar nama negara itu dari media massa saja.

Ana menelan cepat, meraih botol colanya dan meneguknya pelan.

"Tidak juga, tapi kebanyakan orang Indonesia makan dengan porsi sedikit." Ana kembali mengunyah makanannya.

"Benarkah?" Saif tak percaya, ia membulatkan matanya yang sudah bulat itu. Ana meliriknya, melihat ekspresi Saif membuat ia tertawa sendiri.

"Tentu saja tidak, itu tergantung orangnya. Ada yang sedikit, ada yang banyak. Kalau aku sendiri, aku akan menghabiskan apapun yang dihidangkan selama itu boleh ku habiskan." Ucap Ana sambil tersenyum. Saif ikut tersenyum dan mereka larut dalam makanannya masing-masing.

Angin Creek menyergap tubuh mereka, masih panas walaupun malam hari. Ana hanya mengenakan kaos tipis berlengan pendek dengan celana panjang sebatas pertengahan betisnya dan ia tak lupa membawa syal biru navy dengan bingkai berwarna hitam. Sedangkan Saif masih menggunakan Kandura dan Thobnya yang berwarna putih, tangannya memegang tasbih. Mereka duduk dengan jarak dua bangku, Ana tak keberatan sebenarnya jika Saif ingin duduk lebih dekat tapi nampaknya pria ini selalu saja menjaga jarak, tipikal pria yang sangat Ana sukai.

Malam semakin larut, Ana dan Saif masih berdiam ditempat mereka, larut dalam pikiran masing-masing. Mulut Saif tak henti mengucapkan istigfar dengan suara yang teramat rendah dan lembut, terbawa semilir angin menguar melewati ruang bebas di Creek. Ana larut dalam pikirannya, tentang kejadian tadi pagi, tentang kesialan yang ditimbulkan pria tak dikenal yang selalu menganggunya. Ia ingin segera pulang dan mungkin berjanji untuk tak kembali lagi ke negara ini. Matanya menatap Creek sendu, ia sendirian tanpa orang yang ia kenal, walaupun Saif baik dan menimbulkan simpati dihatinya tapi tetap saja ia adalah orang asing, Ana harus berhati-hati dan tidak mudah mempercayai orang lain, ini demi kebaikannya sendiri.

Alkisah di DubaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang