Bagian 17

3.1K 237 13
                                    

Hamdan melempar batang kayu sembarang, ia berjalan menjauhi gua dengan diikuti oleh Rashid. Ia menghampiri pelayannya yang tengah menggosok tubuh kuda kesayangannya, Sakaf. Seekor kuda dengan warna coklat dan tubuh yang tinggi. Kuda asli ras arab yang telah tersohor berabad-abad lamanya ke seluruh penjuru dunia, kuda yang selalu memenangkan pacuan, kuda yang menjadi kebanggannya. Bahkan Faras, kuda milik kakaknya Rashid yang terlihat gagah dengan warna hitam mengkilapnya kalah dalam setiap lomba yang diadakan keluarga kearajaan. Kuda ini merupakan hadiah dari ayahnya, Mohamed pada ulang tahunnya yang ke 11. Hamdan kecil telah menununjukkan ketertarikannya pada pacuan kuda semenjak ia masih balita. Ia selalu antusias tiap kali ayah dan pamannya mengajaknya untuk menaiki si kuda jantan. Sejak kecil ia selalu bersaing bersama kakaknya Rashid untuk menjadi yang terbaik dalam pacuan, namun Hamdan kecil selalu kalah darinya yang secara fisik lebih terlihat kuat dari Hamdan.

"Kau akan kembali sekarang?" Tanya Rashid sambil mengelus Faras.

"Ku kira kita akan bermalam disini." Ucap Hamdan memperhatikan Sakaf yang tengah di gosok.

"Kau harus meminta ijin Majid terlebih dahulu. Ini kan wilayahnya" Rashid menasehati sambil menurunkan perlengkapan pribadinya. Ia tersenyum miring melihat tingkah kakaknya yang malah tengah bersiap untuk mendirikan tenda.

"Tampaknya kau yang harus meminta ijin pada Majid." Hamdan tertawa kecil lalu bangkit dan ikut menurunkan perlengkapannya.

Majid menyudahi ciumannya, ia menatap mata Ana yang tengah mengerjap tak percaya. Seketika wajah mereka berubah menjadi merah dan saling membuang muka. Majid mengutuk diri sendiri, ia tak dapat menahan dirinya pada Ana. Jantung mereka semakin berdegup kencang, Ana masih tak mempercayai kejadian yang baru saja ia alami. Seorang pangeran menciumnya di depan pangeran yang lain, ini mimpi kah?. Ia menekan dadanya, berharap degupannya tak menonjol keluar. Majid bangkit, mencoba keluar dari suasana yang canggung.

Di sebrang wadi Majid melihat mereka dengan sedikit decak kesal, bagaimana mereka tahu jika ia ada disini dan mereka memergokinya dengan wanita lain selain tunangannya. Bagaimana jika ayah mereka tahu dan keluarga Hesa tahu. Ia melihat Ana yang tengah terbengong karena ciumannya tadi, ia pun sebenarnya kaget, bagaimana bisa ia seberani ini mencium gadis di hadapannya. Ia memang menyukai Ana tapi untuk menyatakannya, ia merasa itu terlalu cepat. Ia membalikkan badannya, Ana masih pada posisinya, nampak kesadarannya belum pulih benar dari keterkejutan yang Majid berikan.

"Aku harap kau tak membunuhku karena ini." Ucap Majid, takut Ana marah karena kelancangannya. Gadis itu masih tak bergeming, ia masih sibuk menahan degupan jantungnya. Majid berjalan kearahnya, mencoba untuk menyadarkan gadis ini, sadar Majid mengarah padanya ia buru-buru bangkit dan berjalan keluar.

Diluar gua pemandangan indah kembali tampak, dua orang pangeran dan dua pelayannya tengah mempersiapkan tenda dan mengeluarkan perbekalan mereka. Rashid menutup mulutnya dengan kain dari sorban hitam yang menutupi kepalanya, hanya mata tajamnya saja yang terlihat dan mata tajam itu memaku pandangannya pada Ana yang berjalan menjauhi wadi. Rashid mencoba mengejar karena Ana berjalan sendirian, namun seperti tahu apa yang dipikirkan kakaknya, Hamdan menahan lengan pria itu dan memintanya untuk membantunya saja.

"Biarkan menjadi urusan Majid, kau tetaplah disini." Ucap Hamdan pada Rashid pelan. Ia memberikan sekantung gandung ke tangan kakaknya. Rashid menurut, ia berjongkok di depan tunggu yang telah disiapkan pelayannya. Diatas tungku itu terdapat katel yang terbuat dari tanah liat merah yang dibawahnya telah berwarna hitam, sehitam arang.

"Menurutmu kemana gadis itu akan pergi?" Tanya Rashid penasaran pada Hamdan. Hamdan hanya mengangkat bahu dan mencoba untuk tak ikut campur pada urusan pribadi adiknya.

"Hei, gadis itu cantik kan?" Rashid masih memaku pandangannya pada Ana yang semakin jauh meninggalkan wadi dan menutupi kepalanya dengan kain lusuh yang diberikan Majid padanya tadi.

Alkisah di DubaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang