Bagian 21

2.8K 203 8
                                    

Majid terkejut bukan kepalang dengan pria yang ada dihadapannya kini. Pria berperawakan tinggi besar dengan janggut yang dibiarkan memanjang tak beraturan, dibalik rambut wajahnya ia tersenyum mengejek pada Majid yang kala itu hanya bisa terdiam dengan pertemuan mereka. Pria itu mengangkat dagunya angkuh, kemudian berkata dengan suara yang terdengar sarkasme.
"Gua yang besar untuk dapat berlindung dari badai pasir, dan waktu yang menyenangkan untuk menghabiskan libur panjang dengan bidadari dari timur." Pria itu menyoroti keadaan sekeliling mereka, masih dengan dagu terangkat.
Ia berjalan melewati Majid yang hanya dapat terdiam tanpa bereaksi apa-apa. Pria itu berjongkok, memegang gundukan tanah yang ada di bawah kakinya, meremasnya dengan kuat lalu berdiri. Gundukan tanah berwarna coklat muda yang itu berjatuhan saat remasannya terlalu kuat. Ia mengangkat tangannya dan mengarahkan pada Majid.
"Bayangkan jika ini adalah sebuah hati, saat kau tidak menyentuhnya, ia akan tetap berada ditempatnya dan menyatu dengan yang sejenisnya. Namun saat kau mengangkatnya dan kau terlalu menekannya, sedikit demi sedikit tanah ini akan berjatuhan karena tak dapat bertahan dengan ruangan sempit yang kau ciptakan." Ia kemudian membuka tangannya tanah itu berjatuhan dan sisanya bertebaran ditiup angin. Angin yang berderu semakin kencang membuat jubah mereka berkibar, pandangan mata mereka tak dapat dielakkan. Keduanya mempunyai makna yang berbeda dari setiap tatapan.
Suara ramai dari kerikil kecil yang terinjak dan teriakan memanggil dari pengawalnya menghentikan sikap dingin mereka. Pria itu bergegas menghampiri kudanya dan berlalu. Tak lama Rashid datang dan mendapati Majid termenung.
"Ada masalah apa?" Tanya Rashid penasaran. Majid melirik kakaknya, ia hanya diam kemudian menghampiri kudanya, Rashid mengekor di belakang.
"Majid" panggil Rashid. Majid mengehembuskan nafas kasar, kemudian ia berbalik dan menatap kakaknya yang tengah penasaran.
"Ayub." Ucapnya singkat. Rashid sedikit kaget. Ia tak menyangka jika sahabatnya itu akan datang kemari. Ayub, kakak dari Hesa, calon tunangan Majid.
"Bagaimana ia tahu tempat ini?" Tanya Majid, berjalan mendekat sambil menarik tali kekang kuda putihnya. Ia menelisik mata kakaknya dengan serius, Rashid merasakan tatapan menginterogasi yang ditujukan padanya.
"Jika kau berpikir aku memberitahunya tentang tempat ini, demi Allah aku tidak melakukannya." Ucap rashid bersungguh-sungguh. Majid masih menatap dengan lekat mata coklat kakaknya tanpa berkedip. Rashid pun demikian, ia berusaha keras untuk meyakinkan adiknya yang terlihat sangat kesal sekarang.
Majid mendengus kesal karena tak menemukan celah jika kakaknya tengah berbohong. Ia kemudian melompat ke pelana kuda dan memacunya dengan cepat, melewati para pengawal yang khawatir dengan keselamatannya namun ia lebih memilih menembus padang pasir.

***

Ana bersama dengan Hamdan tengah menolong warga yang terluka yang diakibatkan terjangan kuda Ayub tadi. Beberapa orang tengah meramu ramuan tradisional yang kemudian dibalurkan pada bagian yang terluka, kemudian mereka ditempatkan disebuah aula penginapan tempat Ana menginap. Segera kejadian ini menjadi buah bibir warga desa, banyak dari mereka yang mengutuk si penunggang kuda.
Ana terlihat tekun membalurkan ramuan yang telah dibuat pada seorang wanita paruh baya, wanita itu meringis menahan perih, Ana mencoba menenangkannya dengan bahasa isyarat, mengingat bahasa menjadi penghalang bagi mereka berkomunikasi. Melihat hal itu, Hamdan menghampirinya, duduk di samping Ana sambil mencoba menenangkan wanita paruh baya tersebut dalam bahasa Arab. Setelah selesai menolong warga yang terluka, Hamdan mencoba untuk berbicara pada Ana.
Ditariknya gadis itu ke sudut ruangan, disana telah tersedia sebuah tempat duduk yang dipersiapkan senyaman mungkin oleh para pelayan Hamdan. Ana menurut saat Hamdan mempersilahkannya duduk.
"Aku melihatmu begitu dekat dengan adikku. Sebenarnya, ada hubungan apa diantara kalian?" Tanya Hamdan tanpa basa basi. Ana yang ditanya demikian hanya bisa menatap Hamdan, bingung harus menjawab apa.
'Hubungan apa?' Batinnya. Ia menelengkan kepala tanda bingung. Hamdan yang membaca gerik tubuhnya, tersenyum. Senyumnya seolah menyimpulkan bahwa hubungan antara adiknya dan gadis ini pastilah hanya sekejap. Ia memaklumi hal ini, banyak juga saudara-saudaranya yang lain yang memiliki hubungan yang sama.
Karena paham jika Ana tak dapat menjawab pertanyaan yang diajukannya, Hamdan bangkit lalu pamit pada Ana. Pria itu berjalan menyusuri aula penginapan dengan sesekali berhenti untuk melihat keadaan warga desa yang tengah berisitirahat, para pengawal pria itu mengekor dibelakang berusaha untuk membuat barrier bagi tuannya, berjaga-jaga jika adanya kemungkinan serangan dadakan dari orang yang ingin mencelakai Pangeran Mahkota.
Majid berjalan tergesa menuju Ana yang baru saja ditinggal Hamdan. Sorot matanya begitu tajam mengarah pada Hamdan dan bergantian pada Ana. Nafasnya naik turun, ia meletakkan tangannya pada bahu Ana, gadis itu bingung dengan tingkah Majid yang tak biasa. Baru saja ia membuka bibirnya untuk bertanya, Majid sudah mendahuluinya.
"Kita harus pergi" Ucapnya cepat sambil menarik pergelangan Ana kencang, ia menarik gadis itu dengan tergesa, Ana setengah berlari menyesuaikan langkahnya dengan langkah Majid.

Alkisah di DubaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang