Bagian 13

3.5K 276 6
                                    

Kaki yang telanjang itu menembus hangatnya pasir gurun, berjalan terus kedalam bukit-bukit berpasir dengan sebuah tangan kekar yang sengaja menariknya. Ia berjalan tertatih, kakinya terasa perih karena menginjak kerikil kecil, tarikan tangan yang sangat mengintimidasi membuat mereka meninggalkan mobil dibelakang dan disetiap langkah yang mereka ambil cahaya lampu itu semakin kecil hingga kemudian memudar. Matanya yang kini telah terbiasa dengan gelapnya malam mulai dapat melihat apa yang nampak dihadapannya, gundukan hitam bukit berpasir, langit terang yang dihiasi bintang-bintang dan terkadang terlihat kerlap-kerlip lampu pesawat yang melintas diatasnya. Ia terperangah, ia melupakan kakinya yang perih. Cahaya bulan bersinar sangat terang, ia memutar badannya dan melihat pemandangan menakjubkan disekelilingnya. Tanpa penerangan apapun, pemandangan ini sangat begitu indah, Ana tersenyum lebar,

"Pemandangan indah ini terasa seperti berada di sebuah tempat observatorium 4D namun lebih indah, tidak! AKu merasa seperti berada diantara ruang galaxy. Ya! Ruang galaxy! Lihat bintang itu?! Lihat bulan itu?! Astaga...." Ana takjub dan tak dapat mengontrol dirinya. Tanpa sadar ia menggenggam tangan Majid lebih erat dari sebelumnya. Majid tersenyum melihat tingkah Ana ia senang dapat memberikan hal yang Ana sukai.

"Ini belum seberapa. Kita harus menunggu disini jika kau tak keberatan." Ucap Majid melepas genggaman tangan mereka, membiarkan Ana lebih banyak menikmati waktunya tanpa intimidasi dirinya. Ana berlari kecil ke puncak bukit tak jauh dari tempat mereka berdirii. Ia merentangkan tangannya lebar-lebar, menghirup udara sebanyak mungkin hingga paru-parunya mengembang pada limitnya. Ia melihat Majid dibawah sana yang walaupun tidak begitu jelas tapi ia dapat merasakan bahwa pria itu tengah tersenyum padanya. Pandangan Ana berbalik pada langit malam dan berteriak lantang dalam bahasa ibunya.

"Tuhan! Ciptaanmu sangat menakjubkan!" Teriaknya lantang. Ana tak dapat menahan dirinya, ia berlari kecil kesana kemari, seperti menikmati kebebasan dirinya di tengah gurun gelap tersebut. Semakin malam cahaya bintang dan bulan semakin benderang dan penglihatan mereka telah terbiasa dalam kegelapan malam itu selain itu udara pun semakin dingin menusuk tulang. Majid duduk diatas sebuah gundukan pasir sambil berselimutkan jubah tebal, Ana mengernyit ia menjejakkan kakinya beberapa kali ke atas tanah, kesal jika Majid mempermainkannya lagi.

"Hey! Kau! Sekarang sudah saatnya pulang kan?" Ana setengah berteriak sambil menuruni bukit kecil dan berjalan kearah Majid yang tengah menikmati semilir angin gurun.

"Kau akan menyukainya." Ucapnya pelan tanpa menolehkan pandangannya pada Ana yang kini telah berada di dekatnya.

"Ya.. Ya.. aku memang menyukainya, tapi sekarang sudah lewat tengah malam. Bukan kah kita seharusnya pulang?" Tanya Ana lalu duduk bersila dihadapan Majid.

Pria tampan itu menoleh kearah Ana yang tengah bersidekap sambil mengeraskan rahangnya. Tatapan mata Majid teduh melihat pemandangan dihadapannya.

"Kau tak ingin tinggal disini?" Tanyanya lembut.

"Apa? Disini? Maksudmu ditengah gurun ini?" Ana membulatkan matanya.

"Ya" Jawab Majid singkat masih dengan tatapan teduhnya

Ana mendengus sambil tersenyum. "Yang benar saja, disini bahkan tak ada alas untuk duduk." Ana benci jika pakaiannya harus kotor, namun kenyataannya ia kini tengah duduk diatas pasir menikmati pemandangan indah dihadapannya. Bumi dan langit membuat pantulan yang sangat mengagumkan malam ini, udara yang menusuk tulang menjadi tak terasa bila dibandingkan dengan tatapan dari mata elang dari si pemilik wajah tertampan yang baru kali ini ia temui seumur hidupnya.

keheningan gurun pasir dan bunyi pergerakan binatang malam yang keluar dari persembunyian membuat Ana bergidik. Ia mencoba mencari topik pembicaraan namun nampaknya Majid lebih memilih untuk diam. Terlihat dari sikapnya yang tampak enggan untuk sebuah percakapan dan Ana terlalu malas untuk protes, walaupun ia sangat kedinginan sekarang. Celana dan baju lengan pendek yang tipis sangat tidak cocok dengan udara gurun malam ini. Majid terlihat nyaman dengan jubahnya, ia bahkan tidak terganggu dengan usikan udara gurun yang dingin. Ana memeluk lututnya sambil sesekali mengusap-usap lengan atas dan betisnya yang telanjang, ujung jemari kaki dan tangannya serasa membeku dan giginya bergelutuk keras. Ia dapat merasakan wajahnya kini terasa dingin, tiba-tiba kepalanya terasa berat, sakit kepala yang datang tiba-tiba ini membuatnya jatuh dari duduknya, pandangannya kabur, ia menarik-narik rambutnya berharap sakit kepala itu akan hilang. Majid bangkit dari duduknya saat Ana tak sadarkan diri.

Alkisah di DubaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang