Bagian 10

3.7K 290 3
                                    

Deru mobil menghempaskan butiran pasir ke udara, membuat jalanan gersang itu seolah berkabut dan bagi mereka yang berada didekatnya akan merasakan sesak yang menyiksa karena pasir kasar yang berterbangan akan memenuhi rongga hidung kemudian masuk ke tenggorokan dan membuatnya sulit bernafas. Mobil besar hitam itu semakin menjauhi peradaban dan masuk jauh kedalam gurun, bergerak cepat seolah berkejaran dengan debu yang dilintasinya, jika dilihat dari kejauhan hal itu akan tampak seperti sebuah badai kecil yang akan menyapu tanaman gurun yang dilaluinya.

Pengendara mobil hitam itu semakin dalam menginjak pedal gas, tak menghiraukan teriakan wanita disampingnya. Majid terlalu girang untuk hari ini, ia senang melihat Ana yang menarik-narik ujung lengan bajunya dan menegang setiap kali mereka melewati bukit berpasir dan meluncur bebas menembus debu tebal yang bertebaran.

Beberapa jam sebelumnya...

Abra datang ke balkon sesaat setelah Majid pergi. Ia meminta Ana untuk mengikutinya, Ana yang tak punya pilihan lain mengikuti wanita di depannya dengan harapan tidak ada lagi kejutan yang akan membuatnya terkena serangan jantung. Ana masih takut jika ia akan menghadapi hukuman karena telah menyusup kedalam istana, walaupun sebelumnya Majid bilang jika ia tak akan mendapatkan hukuman namun tetap saja ucapan orang asing tidak boleh dipercayai begitu saja, apalagi Ana hanyalah seorang turis biasa di negeri yang terkenal sangat ketat dengan hukumnya.

Mereka memasuki sebuah ruangan dengan dekorasi yang dipenuhi dengan ornamen berwarna kuning keemasan dan biru gelap. Ana diminta menunggu sedangkan Abra pergi meninggalkannya seorang diri, ia berbincang dengan seseorang diluar sana dan tak lama kemudian Haifa dan Fukayna datang menghampiri. Mereka tersenyum ramah dan kali ini mereka membawa nampan berisikan manisan dan buah segar untuk di hidangkan di meja marmer bergariskan biru tua yang senada dengan ruangan ini.

"Cobalah buah kurma ini, Nona. Buah ini terbaik dari yang terbaik, dipetik langsung dari kebun kami dan hanya dipanen pada musim panas agar didapat kandungan yang baik bagi tubuh. Saya yakin lidah anda akan dimanjakan dengan kekenyalan dari buah terbaik kami. Silahkan." Fukayna menyodorkan buah kurma yang berwarna coklat kehitaman itu, teksturnya padat dan terlihat menggoda dengan kulit yang mengkilap seperti disiram dengan saus gula.

Ana mengambil sebuah, ia menggigit kecil dan mengecapnya, kemudian ia mengambil lagi, lagi dan lagi, membuat Fukayna dan Haifa tersenyum senang. Buah ini membuat indra pengecapnya dimanjakan, ia baru kali ini merasakan manis dan kenyalnya kurma langsung di negara asalnya. Sangat berbeda dengan kurma yang dijual bebas di Tanah Abang di Jakarta, yang saat ini ia nikmati adalah kurma terbaik dan terlezat seumur hidupnya. Tanpa terasa, nampan itu tersisakan setengah dari kurma yang dihidangkan Fukayna tadi.

Haifa menuangkan minuman kedalam sebuah cangkir kecil, "Cobalah kopi khas kami, Nona. Ini untuk menetralkan lidah anda dari manisnya kurma." Haifa menyodorkannya pada Ana. Minuman itu berwarna hitam lebih mirip seperti teh daripada kopi. Ana membauinya pelan, bau yang aneh bagi dirinya, kemudian ia menyesapnya pelan. Ana meringis, wajahnya berubah mengerut, bibirnya membentuk busur kebawah dan ia menjauhkan wajahnya dari cangkir kopi tersebut. Haifa dan Fukayna berpandangan, mereka tak akan mengira jika tamunya akan menampilkan wajah seperti itu.

"Anda tidak menyukainya?" Tanya Haifa pelan.

"Ini, terasa aneh bagiku. Maaf Haifa, apakah ini benar kopi? Kenapa rasanya seperti jahe?" Tanya Ana sambil meletakkan cangkir itu keatas meja.

"Begitulah kopi kami." Ucap sebuah suara mengalihkan perhatian mereka keambang pintu. Majid telah berdiri disana dengan pakaian kasual dan kali ini guthrahnya diikat melingkari kepalanya. Ia berjalan masuk, dan seperti sebuah perintah saat Matanya bertemu pandang dengan Haifa dan Fukayna, kedua wanita itu pergi meninggalkan Ana dan Majid.

Alkisah di DubaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang