Bagian 19

2.5K 215 13
                                    


Semilir angin malam berhembus meniup rambut halus di puncak kepala Ana, matanya sedikit berat ketika dibuka. Tangan kekar memeluk tubuhnya dari belakang, jantung Ana berdesir seketika, ia tertidur dipelukan Majid. 'Rasanya... Nyaman' batin Ana sambil tersenyum. Ia melihat langit malam itu, cerah tanpa awan. Majid menggeliat, ia tahu Ana telah bangun. Ia menumpukan tubuhnya pada lengannya dan menatap Ana yang tengah menatap langit, ia menarik tubuh itu lebih dekat padanya, menenggelamkan Ana dalam dekapannya. Jantung Ana berdetak tak karuan, menyadari ia tengah berada dipelukan seorang Pangeran tampan di negeri antah berantah, ada rasa nyaman namun juga khawatir.

Ana mencoba untuk bangkit, ia harus pergi dari tempat itu dan segera kembali ke peradaban agar ia bisa kembali ke Indonesia. Kakinya menjejak lantai, tubuhnya perlahan bangkit namun Majid memeluknya lebih erat, ia tak membiarkan Ana beranjak dari dekapannya.

"Ini masih malam" Ucap majid, semilir nafasnya terasa ditengkuk Ana, membuatnya berdesir. Ana membatu, ia tak dapat bergerak jika Majid bersikap seperti ini, jantungnya semakin memburu, malam hening diatas balkon hanya nafas mereka saja yang terdengar saling bersahutan.

"Majid" bisik Ana pelan, yang di panggil hanya menggumam kecil sambal menenggelamkan wajahnya di tengkuk Ana.

"Aku harus kembali. Penerbanganku malam ini, bisakah kau mengantarku untuk kembali ke kamarku?" Pinta Ana masih sambal berbisik. Majid membuka matanya, ia menyeringai kemudian mencium tengkuk Ana cepat. Ia bangkit, membuat Ana terduduk diujung dipan. Majid menjulurkan tangannya sambal tersenyum. Ana sedikit terkejut karena kini Majid mau mendengarkannya, Ana menyambut uluran tangan Majid. Bukannya di genggam, Majid malah menggendong Ana di kedua lengannya yang kokoh. Ana sedikit memekik kaget, ia melingkarkan lengannya di pundak Majid, kedua insan itu saling bertatapan, jantung Ana semakin memburu saat bibir Majid semakin dekat dan semakin dekat, menghembuskan nafasnya dengan pelan kemudian sentuhan lembut itu terasa begitu menuntut, Majid membopong Ana kedalam, mereka begitu menikmati setiap pagutan yang mereka lakukan. Detak jantung yang semakin cepat dan nafas yang saling memburu, membuat mereka menjatuhkan diri dalam peraduan malam itu.

***

Suara ketukan terdengar dari luar, Majid menggeliat pelan. Matanya yang coklat menatap Ana yang tertidur pulas disampingnya, badannnya kembali menggeliat, ia merasakan pinggang dan lengan kirinya terasa sangat pegal. Ana, begitu dekat namun tak dapat dijangkau olehnya, ia tersenyum, merutuki sikap bodohnya semalam. Ketukan kembali terdengar, kali ini suara Abra meminta ijin untuk masuk. Tak lama, Abra membuka pintu kamar, wanita itu menundukkan kepalanya dalam-dalam agar tuannya merasa tak terusik. Abra memberitahukan jika sarapan telah siap dan akan segera di hidangkan. Majid meminta agar sarapan dihidangkan dikamar saja karena dirinya terlalu malas untuk bertemu kakak-kakaknya. Abra membuka pintu kamar semakin lebar, beberapa orang membawa nampan dan meletakkannya diatas sebuah karpet tebal ditengah ruangan, setelah selesai menata sarapan untuk Tuannya, Abra dan beberapa pelayan pamit.

Ana masih meringkuk di dalam selimutnya, selimut berbahan sutra berwarna merah itu begitu kontras dengan kulit sawo matangnya, Majid beberapa kali menelan ludah karena ini. Ia ingat semalam, karena kesalah pahamannya ia hampir saja menerkam Ana, walaupun sebenarnya gadis itu pun menikmati sentuhan yang ia berikan. Semalam, saat sedikit lagi mereka menyatu, Ana mendorong Majid dengan kencang, terdorong keluar dari tempat tidur dan Ana menarik sprei merah dengan sembarang untuk menutupi keadaan dirinya yang telah bugil. Majid yang sudah di puncak birahinya sangat terkejut dengan sikap Ana yang berubah tiba-tiba.

"Kenapa?" Tanya Majid heran, bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Ana. Gadis itu berteriak, melempar bantal-bantal yang ada didekatnya.

"kau kenapa?!" Tanya Majid setengah berteriak, menghampiri Ana yang meringkuk, menutupi seluruh tubuhnya dengan sprei merah. Ana merasa dirinya begitu bodoh, untung saja kesadarannya kembali sebelum hal itu terjadi, tak ia pungkiri jika pesona Majid telah membiusnya.

Alkisah di DubaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang