Sinar matahari masuk melalui ventilasi dan jendela besar yang membelah ruang kamar dengan luar. Mata hazel itu terbuka perlahan seraya merasa bahwa pagi memanggilnya. Wajah lelah terlihat. Sampai saat ini ia belum mendapat jawaban dari sahabat sahabatnya mengenai kejadian kemarin. Ia terduduk dan mengusap wajah dan rambutnya kasar lalu bangkit menuju kamar mandi.
Tak ada 5 menit ia pun selesai membersihkan tubuhnya. Mengenakan kemeja flanel berwarna biru hitam karena selama hari jumat murid diperbolehkan untuk mengenakan pakaian bebas. Sudah lengkap, ia langsung turun ke bawah untuk mengisi perutnya pagi ini. Terlihat kakak sulungnya beserta satu wanita cantik sedang duduk sambil menikmati sarapan.
"kak Erin sejak kapan ada di sini?" Pandangannya berpaling pada wanita itu.
"Sebenernya dari semalam,Matt. Aku menginap disini dan kata Sam kamu sudah tidur" jawab wanita itu dengam senyuman seperti biasanya.
"Kalian tidak tidur satu kamar kan?"
"Gue sih sebenernya pengen. Tapi kan belom muhrim" jawab Samuel membuat Erin membulatkan matanya. (Sekedar mengingatkan, Erin adalah tunangan Samuel). Sam terkikik geli lalu melanjutkan pembicaraan.
"Dia tidur di kamar gue dan gue tidur di sofa"
"Baguslah" Matthew mulai memakan lasagna buatan Erin yang sangat lezat itu.
"Gue ada berita ya mungkin bagi lu ini berita buruk"
Matthew menengadah kepalanya lalu menatap Samuel yang sedang melihatnya juga lalu mengangkat kedua alisnya.
"Papa bilang semalem di telfon kalo lu harus kuliah di Amrik setelah selesai SMA ini. Gaada penolakan katanya"
Mata cerah itu berubah seketika menjadi sendu. Terlihat sekali rahangnya mengeras. Menahan sesuatu yang tak ingin ia keluarkan sekarang.
"Gue tau lu gak mau pindah kesana. Tapi, kenapa ga coba aja,Matt. Disana peluangnya banyak banget"
Matthew tetap terdiam. Sebenarnya apa yang dikatakan Samuel itu sangatlah benar. Namun, ia belum siap untuk pindah dari Indonesia. Apalagi sampai tidak bertemu Michele lagi.
"Dan, tolong, turutin Papa. Ngertiin Papa juga, Matt. Dia pengen lu jadi yang terbaik"
"Harus?"
"Ya, ha-"
"Harus gue ngertiin dia sementara dia gak pernah sedikitpun ngertiin gue?!?!"
Susana pun seketika mencengkam. Erin yang tak ingin mencampuri urusan pribadi mereka pun beranjak dari kursi makan.
"Aku akan cuci piring ini"
Samuel memandang kembali wajah adik kesayangannya itu dengan tatapan yang tidak mengerti.
"Coba lu pikirin lagi,Matt. Ini demi masa depan lu!"
"Masa depan gue?! Trus lu pikir aja gue bakal seneng gak kalo gue ngelakuin hal yang gue gamau? Gue beban,Sam!"
"Eh! Papa ngelakuin ini karena Papa sayang sama lu! Dia pengen lu jadi orang sukses! Lihat gue sekarang! Gue yang pengen jadi CEO di sana tapi gak dikasih sama dia, sementara dia mikir kalo lu yang akan ganti posisi Papa,Mat. Lu harus bisa hargain Papa! Perusahaan nya itu gamain main woy!"
"YAUDAH KALO LU MAU DISANA YA KENAPA GA LU AJA! GUE GA BERMINAT DISANA! BILANG PAPA JANGAN NGATUR GUE SEENAKNYA! GUE BERUSAHA UNTUK MEMPERBAIKI SIKAP GUE SAMA DIA TAPI KALO DIA TETEP GABISA NGERTIIN GUE, GUE JUGA GAK AKAN MAU NGERUBAH SIKAP GUE!"
Matthew dengan gusar dan amarah yang memuncak pun langsung beranjak dan mengambil kunci motor nya, lalu melajukan motor itu secepat mungkin. Sam, yang mematung dengan rasa amarah yang sama pun berdiri di depan halaman rumah. Erin mengusap pundak Samuel, memberi calon suaminya itu ketenangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLOSER
Teen Fiction"Aku pun tak tahu sampai kapan hidupku akan berakhir. Yang penting, saat ini aku ada untukmu. Melihatmu dan merasakan mu sebelum malam aku pergi. Sebagai cinta mu sekarang." - Aleisha Michele Warning : dialog berisi bahasa remaja dalam keseharian...