Sebagaimana pujangga yang mengatakan bahwa waktu tidak bisa berdamai dengan siapapun di dunia ini. Terlepas dari kejadian itu baik atau buruk selagi titimangsa telah melalui garis takdirnya maka apapun yang sudah terjadi tidak bisa dihindari atau diperbaiki dengan menarik mundur garis tersebut lalu memasangnya kembali.
Mustahil.
Karena itu, meski berat dan harus berdebat dengan ego yang seringkali tidak toleran pada akhirnya semua harus kembali pada tugas masing – masing, melanjutkan hidup yang tidak semudah itu bisa berhenti.
Seperti yang tengah Alvin lakukan hari ini, menjalankan rutinitas sebagai pelajar yang berhak memperoleh Pendidikan di sekolah. Dia mencoba memusatkan perhatian pada Bu Winda yang tengah menjelaskan tentang operasi bilangan matriks dan sifat - sifatnya yang pasti akan menjadi bahasan pokok pelajaran beliau dalam satu bulan kedepan karena sub bahasan matriks yang super duper banyak belum lagi operasi perkalian dan lainnya.
Namun, sebaik apapun Alvin ingin memfokuskan hati dan pikirannya, tetap saja dia merasa usahanya sia - sia. obsidian gelapnya masih saja bergerilya pada sosok tegap di hadapannya tanpa berpaling sedikitpun sepanjang pembelajaran berlansung.
'Yo...'
'Apa yang sebenarnya terjadi?'
'Apa yang lo sembunyiin dari gue?'
'Kenapa persahabatan kita jadi kayak gini?'
'Kenapa lo tega ngehancurin semuanya?'Alvin merapal dalam hati, banyak pertanyaan yang bergelayut dalam pikirannya tapi lidahnya kelu untuk mencoba menemukan jawaban dari semua itu.
Wiiiiing...
TUUKK
"Aduh..." Alvin meringis menerima hadiah kesayangan dari Bu Winda, lemparan spidol yang mendarat mulus di kepalanya. Ini dirinya yang sial apa memang Bu Winda yang terlalu peka melihat gerak – gerik muridnya hingga dari sekian banyak siswa yang dia jamin tidak sepenuhnya mendengarkan materi beliau, tetap saja Alvin yang jadi sasaran.
"Alviiin Jonathan!"
"I... Iya, Buk..."
"Sudah tahu apa kesalahan kamu?"
Alvin menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal, meringis menahan malu di depan teman - temannya yang sukses menjadikannya pusat perhatian, terlebih kekasihnya Ashilla yang sibuk menahan tawa dibalik wajahnya yang menunduk. Tuh kan? Memangnya dia salah apa? dia masih menyimak pelajaran tadi kok, Bu Winda saja yang terlalu sayang padanya hingga ada saja tingkahnya yang salah dimata beliau.
"Bawakan buku tugas ini keruangan saya sebagai hukumannya"
"Ba... baik, Buk"
Astaga...
Alvin baru sadar kalau ternyata kelas sudah selesai dan sebentar lagi adalah jam istirahat, pantas saja tatapan teman - temannya horor sekali, rupanya mereka kesal jam istirahatnya terganggu gara - gara dia.
Alvin melangkah kedepan kelas, merapikan buku tugas teman-temannya yang menggunung sebelum memindahkannya ke kantor guru sesuai perintah. disela kegiatannya ditemani grusak grusuk penghuni kelas yang hendak meluncur ke kantin interupsi Bu Winda sebelum keluar kelas berhasil membuat Alvin terhenyak.
"Oiya, Rio. Kamu bantuin Alvin ya, Pastikan dia mengerjakan hukumannya dengan baik!"
"Makasih loh, Buk!" Alvin menyahut cepat begitu tersadar dari keterkejutannya tepat sebelum Bu Winda meninggalkan kelas mengacuhkan teman - temannya yang mulai berhamburan keluar kelas.
Wuuaah...
Alvin menampakkan wajah cerah disela aktifitasnya menumpuk buku tugas yang banyaknya naudzubillah, buku paket dengan kapasitas nyaris 300 halaman yang tengah dirapikannya ini sejumlah anak yang artinya jika harus bolak balik ke ruang guru dan kelas untuk membawa buku - buku ini dengan aman karena jika ditumpuk terlalu banyak lengannya mungkin bisa patah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] BAHASA RASA
Teen FictionSEKUEL : [1] LUKA SEMESTA Blurb : Akhirnya, setelah melewati perjuangan yang panjang Rio bisa berdamai dengan masa lalu, menikmati kebersamaan keluarga yang selama ini dia rindukan bersama wanita yang dia perjuangkan. Siapa sangka, Rio akhirnya b...