Ada kalanya diam menjadi satu-satunya cara untuk menjaga kewarasan jiwa-jiwa yang Lelah akan hidup mereka.
Ada kalanya diam menjadi satu-satunya hal yang bisa dilakukan untuk memulihkan diri ataupun sekedar singgah dalam keputusasaan sebelum takdir membawanya untuk menyerah, ah ralat lebih tepatnya dipaksa menyerah.
Yaaah, begitulah
Sama seperti yang tengah Ia lakukan sekarang.
Terhitung tiga hari sudah Rio menjalani perawatan tanpa mengizinkan siapapun datang menemuinya, tentu saja aturan itu tidak berlaku bagi Dokter, suster dan satu manusia lain yang selalu punya cara untuk menyelinap dalam kamarnya dengan bantuan sang Ayah, Yah... siapa lagi kalau bukan Debo.
Meski Rio sudah melakukan banyak cara untuk mengusirnya keluar, Debo selalu punya cara untuk membuat mereka akhirnya menghabiskan malam diruangan yang sama meski kebersamaan itu sudah hilang.
"Hai, yo... sorry, hari ini gue nggak bawain apa-apa ya. Remuk banget abis sparring sama tim yang kakinya patah sebelah. Aturan kalau lo mau cabut tuh kode dulu kek, apa kek, sumpah ya tadi tuh tim lo timpang banget."
Hening...
"Seperti biasa, Pak Duta pasrah Cakka buat mimpin latihan dan yaaa... as you wish! gue yakin lo tahu gimana si cicak komandoin temen-temennya disaat kayak gini. Mereka nggak baku hantam aja udah syukur."
Debo merebahkan tubuhnya di sofa, mencari posisi wenak untuk mengistirahatkan badan yang habis kena gempur seharian. Bagaimana tidak? Dalam satu minggu kebelakang kesemua aktifitasnya sangat menguras tenaga dan pikiran. Salah satunya ya ini, berusaha menghancurkan ego manusia paling ajaib di dunia.
Harusnya, disaat seperti ini support keluarga dan orang-orang terdekat sangat dibutuhkan. namun yang terjadi disini adalah sebaliknya.
Setelah mendengar vonis dokter jika syaraf di otot kakinya mulai mengalami disfungsi, Rio tampaknya pasrah, seolah sudah tahu ini akan terjadi bocahnya malah biasa saja, padahal diruangan yang sama Pak Tama dan Bu Manda yang turut mendengarkan penjelasan dokter berusaha sekuat tenaga untuk saling menguatkan meski nyatanya yang terjadi tidak demikian.
"Yo..." Debo kembali memulai obrolan masih dengan merebahkan badannya di sofa.
"Mau sampai kapan sih lo kayak gini? Nggak kasihan sama Bunda? sama Ify? Lo nggak mikirin perasaan mereka kayak gimana?" tahu tidak akan dibalas dengan mudah, Debo melanjutkan monolognya. yaa... kalaupun suaranya tidak terbalas setidaknya Rio cukup tahu diri untuk mendengarkannya hingga telinganya kebas.
"Nggak ada faedahnya tahu nggak! buat apa coba sok-sokan ngilang disaat kalian tuh sebenernya sama sama butuh. stok alibi gue udah mau abis kalau lo mau tahu!"
"Sorry..."
Debo mencebik tak kentara, ternyata benar. dia butuh banyak amunisi untuk membuat Rio bicara. "Basi. Ngapain minta maaf kalau pikiran gila lo itu nggak bisa ilang? Percuma!"
"Sorry, De..."
"Astaga! nggak bisa ya kita ngobrol baik-baik?"
Rio menggeleng.
"Kenapa?"
"Udah cukup semua yang lo lakuin buat gue, udah cukup gue bikin lo susah, gara-gara gue lo jadi serba salah sama semuanya"
"Anjir, ngomong apa sih lo!"
"Gue serius"
Debo hanya bisa menggelengkan kepala, ide-ide brilliant sepanjang masa hilang begitu saja dari pikirannya dan entah dimana itu semua sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] BAHASA RASA
Teen FictionSEKUEL : [1] LUKA SEMESTA Blurb : Akhirnya, setelah melewati perjuangan yang panjang Rio bisa berdamai dengan masa lalu, menikmati kebersamaan keluarga yang selama ini dia rindukan bersama wanita yang dia perjuangkan. Siapa sangka, Rio akhirnya b...