16 - Hidup ini Seperti Roller Coaster

995 66 7
                                    

Rio menggigit bibirnya, menyesal karena tidak bisa membantu apa-apa disaat kakaknya dibuat terpojok seperti itu. Jangankan membela, untuk bersuara keras saja dadanya luar biasa sesak.

Kalau dulu dia bisa berulah dengan memaksa bangun dan menghentikan kediaman para sahabatnya, maka hari ini dia sangat payah. Badannya susah untuk digerakkan, kepalanya sakit dan lemas sekali. dia tidak bisa melakukan penyanggahan apapun sampai Gabriel keluar dari ruangannya.

"Bu...buruan ke... kejar, kka! Kejar dia, kejar dia, Cakka! Kejar Gabriel!" Rio memaksa berteriak demi menyadarkan kedua orang itu dari diamnya.

"Al... kejar iyel. Gue mohon kejar kakak gue Al... ke... kejar dia!" Dia bersuara lebih keras. Demi tuhan, tidak ada yang lebih menyakitkan selain melihat mereka bersitegang seperti tadi, tidak ada yang lebih sakit dari pada menjadi sebab pertikaian tanpa bisa mengupayakan apapun.

Berkali-kali di lontarkannya kata kejar itu hingga Alvin menoleh, membaca gerakan bibirnya yang mulai kepayahan, suaranya sudah nyaris hilang saat Alvin menarik lengan Cakka dan mengajaknya keluar.

"Lo istirahat, gue beresin ini dulu!"

Rio mendesah lega melepas kepergian Alvin dan Cakka. Meski tidak tahu apa yang akan terjadi diluar, Ia cukup yakin Cakka tidak akan membiarkan Gabriel melakukan hal konyol hanya karena pertikaian mereka tadi.

Arrgh...
Rio memejamkan netranya kuat, satu tangannya yang bebas memegangi kepala menghalau pening yang datang tanpa perintah, pandangannya serasa berputar, keringat dingin mengalir deras diwajahnya yang kembali memucat.

Ia menahan nafas, memejam lebih erat saat pening dikepalanya semakin menyiksa. Ia menggerang tertahan, mencengkeram kepalanya berharap dengan demikian nyeri itu hilang.

Rio mencoba menggerakkan badan yang sudah tidak karuan lagi rasanya, terlalu berat untuk membuka mata sekarang, belum juga berhasil mengangkat satu tangan dengan sempurna, dia meringis kesakitan lantaran badannya tidak bisa bergerak, rasanya seperti manekin yang diawetkan.

'Tolong...' 'Siapapun tolong...'

Dia menjerit dalam hati, merapalkan doa yang dihapalnya diluar kepala untuk mencoba berdiskusi dengan tuhan, berharap Dzat yang maha kuasa berkenan mengetuk hati siapa saja untuk masuk dan membantu meringankan rasa sakit ini.

'Tolong, siapa aja tolong...'

Jemarinya bergerak liar mencoba meraih tombol darurat di dekat ranjang, satu kali-dua kali- tiga kali, tidak sampai juga. 'To... To... tolong...'

Nafasnya tersengal seiring dengan badan yang dipaksa bergerak lebih kuat, Arrrgh... Setiap digerakkan, tulang-tulangnya terasa patah.

'Dok... dok... dokter... Su... sus... ter...'

'Maa... mama... to... tolong... to-to-'

Klek!

"YA TUHAN, RIO!!"

---

Bu Manda masih terus menangis di depan ruang rawat putranya, Dokter Andrean yang belum juga keluar setelah mendapat panggilan darurat dari tombol merah disamping ranjang yang dipencetnya bersamaan dengan teriakan minta tolong kelas atas.

Bagaimana tidak, beliau yang baru saja keluar dari ruang Dokter setelah mendapatkan penjelasan dari hasil biopsi yang dilakukan putranya beberapa hari lalu harus dikejutkan dengan keadaan putranya yang begitu mengenaskan.

Sepanjang membacakan diagnosa, ah ralat menjelaskan hasil biopsi itu, Dokter Andrean bahkan beberapa kali menghela nafas berat, semacam reaksi tidak terima atau lebih tepatnya tidak percaya dengan lembaran berlogo laboratorium rumah sakit yang sudah dibacanya berkali-kali sepanjang hari kemarin.

[2] BAHASA RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang