Debo benar-benar di bikin gila dengan Rio yang mendadak jadi nyebelin padahal mereka sudah membicarakan agenda hari ini sejak tiga hari yang lalu dan Rio sudah menyanggupi. Mereka bahkan sudah menyepakati perjanjian bersama demi kelancaran pertemuan hari ini. tapi, coba lihat apa yang terjadi sekarang? Begitu mau berangkat bocahnya malah ngambek dan tidak mau dibantu turun ke kursi roda.
Setiap di ajak bicara, anaknya malah cengo kayak perawan.
"Mau lo apa sih, Yo!" Debo mengusak rambutnya kesal. ah, ayolah mereka sudah sangat terlambat sekarang. Bisa gawat kalau aksi bujuk-membujuk ini tidak segera selesai sementara Alvin dkk seharusnya sudah sampai di taman belakang rumah sakit.
"Kita udah bahas ini berkali-kali. gue juga udah bilang sama lo kalau gue bakal ngelakuin sesuatu dan ya ini salah satunya, Gue cuma lagi berusaha ngasih ruang buat lo bisa ngomong yang sebenarnya sama mereka, ya paling enggak lo bisa minta maaf lansung ke mereka"
"Iya tapi nggak harus dengan ngobral keadaan gue ke mereka juga dong! Dengan lo bilang gue lumpuh, Gue rasa udah nggak ada lagi yang bisa gue jelasin ke mereka sekarang, yang ada gue cuma bakal nambahin beban mereka doang!"
Debo mendecak kentara, "Lo pikir dengan ngilang kayak gini itu bukan beban? Lo tahu gimana belingsatannya mereka nyariin lo, nanyain lo, nggak usah sok nggak ngerti apa-apa gitulah! Gue cuma nggak mau semuanya makin rumit, lagian apa salahnya sih timbang ketemu doang."
"Ini nggak semudah yang lo pikir, De..."
"Terus mau lo gimana? Hah!"
Debo menghela nafas pasrah, notifikasi dari Cakka yang tampak dari pop up ponselnya semakin membuat pikirannya tak karuan, sementara di sebelahnya Rio masih diam.
"Yo?"
Tidak ada sahutan.
"Oke... oke... kalau lo emang nggak bisa jawab, nggak apa-apa. Biar gue aja yang pergi, secara gue yang gagal ngebujukin lo. So, gue harus tanggung jawab udah minta mereka datang kesini. Yaaa... bonyok dikit nggak apa-apalah, dirumah sakit ini." lirih Debo putus asa. Mau bagaimana lagi ya kan? Dia tidak ada pilihan
"Iya nggak gitu juga, De" Rio kembali bersuara.
"Terus?" Debo menyahut cepat, waktu terus berjalan dan tentu saja Debo tidak akan menyerah membujuk Rio meski membutuhkan lebih banyak waktu hingga gumam persetujuan keluar dari bibir lelaki itu.
***
Debo menatap haru segala yang tersaji di depan matanya sekarang. Sungguh, tidak ada kata yang mampu menggambarkan perasaan apa yang tengah menyelimuti hati orang-orang pilihan yang kini saling peluk satu sama lain.
Masih jelas dalam ingatan saat Rio memintanya berhenti mendorong kursi roda begitu presensi Alvin, Cakka dan Gabriel tampak dalam pengelihatan mereka. Kira-kira dua meter jauhnya. Raganya menjadi saksi saat Rio berusaha memutar roda kursinya guna memangkas jarak yang tersisa, dan sepersekian detik setelah itu tiga serangkai yang sebelumnya duduk di rerumputan berlari mendekati sahabatnya yang duduk diatas kursi roda dan mengisi ruang tersisa dengan pelukan.
Debo menunduk tidak jauh dari mereka, menahan pedih mengingat bagaimana Rio diabaikan hingga dengan bodohnya anak itu sengaja menghilang dalam beberapa minggu ke belakang dan apa yang dilihatnya sekarang adalah kebalikan dari semua situasi itu. Kini, dengan netranya sendiri dia menyaksikan dengan sangat jelas betapa mereka saling merangkul seolah tidak pernah ada hal menyakitkan yang terjadi.
Yaa, inilah seni persahabatan dimana Kita tidak bisa mengendalikannya sendirian.
"S... sorry, gue nggak tahu lagi harus ngomong apa ke kalian semua, permintaan maaf gue juga kayaknya udah nggak ada artinya lagi sekarang" Rio menarik nafas panjang, butuh keberanian lebih dari biasanya hanya untuk mengatakan hal yang sebenarnya sangat sepele dalam obrolan persahabatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] BAHASA RASA
Teen FictionSEKUEL : [1] LUKA SEMESTA Blurb : Akhirnya, setelah melewati perjuangan yang panjang Rio bisa berdamai dengan masa lalu, menikmati kebersamaan keluarga yang selama ini dia rindukan bersama wanita yang dia perjuangkan. Siapa sangka, Rio akhirnya b...