38 - Meninggalkan Atau Ditinggalkan

1K 79 61
                                    

Sufias pernah berkata kita tidak boleh mencintai sesuatu secara berlebihan karena kita pasti akan meninggalkan atau ditinggalkan olehnya. Dibaca sekilas kalimat itu terdengar seperti bualan, tapi semakin dirasakan, semakin Ify yakin bahwa petuah itu benar.

Buktinya, saat ini dia takut ditinggalkan, sangat.

Tak terhitung berapa kali Ify meminta maaf, memohon ampun atas perasaan yang tak bisa Ia cegah.

Obrolan tentang kondisi Rio sekarang dan segala kemungkinan yang harus diwaspadai sudah dijelaskan cukup panjang oleh Dokter yang bahkan menurut Ify hal itu tidak terlalu penting buat dia. Memangnya kenapa kalau sekarang Rio lumpuh? Kenapa kalau Rio bisa tiba-tiba kehilangan fungsi motoriknya yang lain? Toh, perasaannya untuk Rio tidak akan hilang.

Ify juga tidak ingin berhenti.

Ify yakin Rio bisa terus menemaninya seperti ini, meski mungkin keadaannya akan berbeda suatu hari nanti, tapi tetap saja Ify tidak ingin berhenti.

Munafik jika Ify berkata semuanya baik-baik saja sekarang, tapi yang lebih menyakitkan dari itu semua adalah melihat Rio menjadi sok kuat demi menjaga perasaannya.

Kenapa sih, Rio itu hobi sekali mementingkan orang lain? Padahal Ify tidak akan keberatan jika sekali-kali Rio harus egois untuk dirinya sendiri.

Sakit ya bilang sakit.

Takut ya bilang aja takut.

Seharusnya mudah, tapi entah kenapa sulit sekali bagi Rio untuk melakukan itu.

"A... aku nggak tahu harus ngomong apa selain minta maaf sama kamu fy, a... a... aku rasa semakin lama aku cuma bisa bikin kamu sakit, aku—

"Sssst... udah ya, udah." Ify mengarahkan telunjuknya ke bibir Rio, mengisyaratkan agar pembicaraan ini tidak dilanjutkan. Sudah panjang percakapan mereka tadi dan Ify merasa itu sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan apa yang bisa dia lakukan sekarang.

Dipandanginya Rio yang kini bersandar di kepala ranjang, baju pasien yang tampak kebesaran di badan lelakinya membuat Ify merasa miris tapi sebisa mungkin Ia berusaha tidak menampakkan itu. Susah payah dia merayu untuk bisa bertemu, dan tentu saja waktu berharga ini tidak sepantasnya dipenuhi dengan kesedihan apalagi keputusasaan baik darinya atau dari siapapun.

"Eh, gi... gimana kalau kita ngo... ngobrol yang lain aja? Random juga nggak apa-apa." Ify berujar kikuk, astaga! Apa-apaan dia ini. Bisa-bisanya dia jadi susah ngomong gini di depan pacar sendiri!

Rio tersenyum. "Emm... udah makan?"

Ify mengangguk.

"Ta... tadi sebelum masuk ngapain aja? Sorry ya, bikin kamu nunggu lama"

"Nggak apa-apa, kapan lagi coba bisa liat kamu ngobrol serius sama Dokter kayak tadi, muka tegangnya dapet banget lagi pas aku fotoin" Ify tertawa sejenak, membangun suasana agar tidak mellow.

"Kamu fotoin aku? Pas aku lagi kayak gini?"

Ify menggangguk semangat. "Mau liat?"

Rio menggeleng, "Boleh minta tolong?"

Lagi, Ify menggangguk. Kali ini sambil berdiri dan melihat disekitar, menerka kira-kira apa yang harus dia lakukan. "Kenapa?"

"Tolong di hapusin ya foto yang tadi"

Ify cemberut.

"Aku nggak pengen ngingetin kamu sama hal-hal yang bakal bikin kamu sedih, udah cukup aku egois dengan nggak biarin kamu pergi, aku nggak mau ninggalin kenangan yang bikin kamu makin ngerasa sakit."

Ify menggeleng. "Tetep ganteng kok, biarpun lagi sakit. Sumpah deh!"

"Please, Princess. Nanti aku ganti sama yang lebih cakep sepulang dari sini, boleh ya?"

[2] BAHASA RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang