41 - Memeluk Semesta

733 80 44
                                    

Bu Manda masih betah duduk disebelah ranjang sang putra yang tengah terpejam karena pengaruh obat.

Sudah satu minggu sejak insiden pagi itu, kondisi Rio terus menurun. Berbagai upaya sudah dilakukan namun rupanya kesemuanya itu tidak cukup untuk membuat kondisinya stabil kembali.

"Makan dulu yuk, Ma..." Pak Tama mendekat pada Bu Manda yang duduk disamping ranjang, berusaha tersenyum kala memandangi wajah istrinya yang tampak sayu dan sedih. "Ini udah siang, bentar lagi Iyel dan Ray pulang. Mereka pasti bawel kalau tahu Mama belum makan."

Bu Manda menggeleng, "Mama mau nemenin Adek aja."

Pak Tama menunduk pedih, sebagai Kepala keluarga, beliau tentu harus bisa menjadi lebih kuat daripada yang lain. sebagai ayah beliau harus pasang badan kapanpun, terlebih sejak Dokter menyatakan jika harapan Rio untuk bisa pulih sangatlah kecil. Meski beliau hanyalah ayah sambung, tapi sebagai teman dekat Pak Marcel tentu segala sesuatu tentang Rio dan Gabriel kecil sudah menjadi santapan sehari-hari.

"Dek, Mama nggak mau makan tuh, kamu bawelin Mama dong, biar nggak kebiasaan." ledek beliau sengaja, Pak Tama menatap dalam wajah merona serta sorot mata yang kembali hidup disebelahnya.

"Iya, Dek! Sini bawelin Mama, kali ini boleh sepuas adek deh, janji!" Bu Manda mencoba membalas dengan cara serupa meski wajah lelah beliau tidak semudah itu hilang. sebagai seorang Ibu, tentu perih sekali rasanya melihat sang putra harus menanggung begitu banyak rasa sakit.

"Adek masih butuh banyak istirahat, Ma. Mama juga butuh tenaga buat nemenin Adek, emangnya Mama mau Adek sedih kalau sampai Mama sakit? Nggak mau 'kan, Ma..."

"Mama lebih ikhlas kalau seandainya Mama aja yang sakit."

"Sssstt... jangan bilang gitu, nanti adek dengar."

Bu Manda menyandarkan kepalanya di dada bidang Pak Tama, detik berikutnya mereka kembali saling menguatkan dan senantiasa berdoa semoga semuanya segera baik-baik saja.

Tidak lama kemudian, seperti yang Pak Tama katakan Ray dan Gabriel pulang dari sekolah lengkap dengan Cakka dan Alvin yang turut serta seperti biasa. Bu Manda dan Pak Tama memutuskan untuk pergi makan di kantin, meninggalkan sekumpulan pemuda yang kini duduk berjamaah dengan kepala bersandar di ujung sofa.

"Kak, lo tahu nggak, kata Deva udah tiga hari ini Kak Ify nggak masuk karena sakit. Gue jadi mikir, apa iya kalian sebucin itu?" Ray yang duduk di samping ranjang memulai orasi tunggalnya.

Belakangan ini Ray mendadak jadi moderator diantara Gabriel dan teman-teman yang jadi lebih betah diam. Mereka memang masih rutin datang, tapi uforia pertemuan dan obrolan penuh tawa yang dulu sering Ray saksikan rasanya seperti punah.

"Kayak biasa, sohib lo mukanya pada kusut aja kalau udah sampe sini, gila sih! gue baru tahu ternyata mode silent mereka seram juga ya, ihhh..." Ray melanjutkan orasinya berharap suasana pedih ini bisa menghilang. Atau minimal dia berharap semoga dengan suara berisiknya ini bisa membangunkan Kakaknya sehingga situasi ini tidak akan berlansung lama.

"Diem nggak lo!" Sahut Cakka pelan

Ray menyungginginkan senyum puas, pancingannya berhasil.

"Tuh! Lo denger kan? Mode marahnya kayak gimana? Kok lo betah sih temenan sama mereka?"

"Ngomong lagi gue sleding!"

"Yee, mainnya ngancam ya terserah gue dong, gue yang ngomong ini!" Ray tak mau kalah.

"Raynald..."

"Berisik lo semua" lirih suara di belakang Ray refleks membuat Cakka dan Alvin yang tengah berdebat berdiri dan mendekat ke arah ranjang. Wajah keduanya berbinar melihat Rio membuka mata.

[2] BAHASA RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang