18 - Ayah Mau Jemput Rio ya?

894 63 10
                                    


Rio membuka mata perlahan, tubuhnya terasa begitu ringan, sangat ringan seperti kapas terbang. Dipandanginya hamparan luas yang menjadi titik temunya sekarang. Sungguh, tempat ini begitu indah, sejuk, dan tenang.

Sepanjang jalan dipenuhi bunga-bunga lengkap dengan danau-danau kecil disekitarnya, di kejauhan tampak anak-anak berlarian, sesekali mereka berhenti mengambil air dengan cakupan tangan, menyeruputnya lalu tertawa riang.

Ya Tuhan...

Bahagia sekali bisa menikmati wajah cerah mereka, rasanya nyaman dan damai.

Ia melangkah semakin jauh, meninggalkan sekumpulan anak-anak berwajah bidadari menuju lorong panjang yang entah apa namanya, Ia melangkah tenang sampai netranya menemukan yang tidak kalah indah dari sebelumnya, Ia merasa tempat ini tak ubah nya seperti negeri dongeng.

"Apa mungkin gue udah mati? Tapi kok rasanya gue nggak bisa percaya." Ujarnya lirih seraya menatap tumbuhan hijau yang mengelilingi tempatnya sekarang, gemericik air terdengar bersama semilir angin menyejukkan yang membuat siapapun betah berada di tempat ini lebih lama.

Dia memejamkan sejenak, membaringkan tubuh menikmati ketenangan yang membuatnya merasa sangat sehat, kepalanya tidak lagi terasa sakit, dadanya juga tidak sesak, dia bersyukur rasa sakit yang kerap menyerangnya beberapa hari terakhir rupanya mulai lelah dan memilih untuk pergi.

"Rio, Jagoan, hey! Bangun..."

"Yo, yaaaah kok makin pules tidurnya, ayo bangun, bangun..."

Erghhh...
Meski enggan, Rio membuka matanya perlahan, Ia terperanjat mendapati sosok yang begitu Ia rindukan berada begitu dekat, sejurus kemudian Ia beranjak bangun dan memeluk tubuh itu erat-erat, "Ayah! Iyo kangen!"

Sosok itu ikut tersenyum, mengelus lembut kepala putranya dalam diam seraya melepaskan pelukan samar itu. keduanya berjalan beriringan menuju salah satu tepian dekat danau, duduk berdampingan disana.

"Ayaaaah, Iyo kangen banget. Ayah kesini mau jemput Iyo, kan? Ayok, Yah. kita pulang!" jerit Rio senang, pandangannya beralih menatap lekat danau di hadapannya, airnya sangat jernih hingga memantulkan wajah sang ayah dibalik gelombang kecil yang terbentuk dari gerakannya.

Seseorang yang dipanggilnya ayah tampak tersenyum lalu menepuk pundaknya pelan. "Kamu yakin?"

Rio mengangguk semangat. "Iyo mau donor jantung aja, biar Iyel sehat beneran," Ia kembali menatap ayahnya, "Lagian ini nggak bakal selesai, yah."

"Tapi, Mama dan yang lainnya butuh kamu," Pak Marcel tersenyum simpul seraya menepuk pelan bahu putranya yang tengah berbaring. "Nggak apa-apa kalau iyo memang mau pulang, tapi nggak dengan cara kabur kayak gini. jangan jadi anak nggak sopan, Ayah nggak suka, ya?"

Rio tergugu menyadari kekeliruannya, beliau benar. Pergi tanpa pamit tidak akan pernah berhasil menjadi jalan keluar bagi siapapun, tidak lucu jika dia benar - benar harus pergi sementara dari alam bawah sadarnya Ia harus melihat orang-orang terkasihnya terluka.

Tiba-tiba sekelebat wajah Ray melintas dalam pikirannya, adik kecilnya itu tampak berteriak memanggil namanya seperti orang gila, mengoyak badannya dengan brutal lengkap dengan sumpah serapah tiada tara. astaga, anarkis sekali anak kecil itu.

Ekspresi luar biasa Ray memudar kemudian beralih pada wajah sendu dua orang berharga lainnya, Mamanya dan Gabriel.

Meski samar, Bu Manda tampak tengah menggenggam tangannya dengan wajah basah. Ia memandang beliau lamat-lamat seraya tersenyum pedih.

Ya tuhan...

Sebesar itukah kekecewaan yang harus beliau tanggung jika Ia harus pergi sekarang? Sebesar itukah luka yang akan beliau peroleh atas tindakan bodohnya

Belum hilang keterkejutan atas tatapan penuh luka sang bunda, Ia kembali dibuat terkejut dengan wajah pilu Gabriel yang terduduk di dekat sang bunda. Kali ini, dia harus mengakui jika Gabriel tengah diam dalam arti sebenarnya, Ia tampak sebagai manusia paling tegar di dunia. kakaknya bahkan tidak menangis, tidak marah apalagi menyumpahinya seperti yang Ray lakukan.

Rio senang, setidaknya masih ada Gabriel yang bisa menenangkan mereka jika dia harus berserah dalam waktu dekat. Hahaha, Dia terpaksa harus jujur jika Gabriel sangat berguna disaat seperti ini.

Tapi, tunggu...

Tunggu dulu, gerakan apa itu? Apa yang sedang kakaknya lakukan? Kenapa dia memukuli dadanya seperti itu? Apa kakaknya sudah gila? Apa dia sudah lupa kalau kesempatan hidup tidak melulu datang dua kali? Apa dia lupa kalau jantungnya itu cuma satu? kenapa kakaknya bertindak seperti orang mau mati begitu? Aish!

Gabriel bodoh! Pembohong! Kenapa harus manampakkan wajah datar seperti tadi jika kenyataanya dirinya juga hancur?

Ini tidak bisa di biarkan, Ya. Dia tidak bisa membiarkan mereka menanggung kepedihan sebesar itu.

---

Ify menutup wajahnya dengan telapak tangan, meredam isakan yang nyaris lolos kapan saja. Dua hari berlalu sejak insiden dimana Bu Manda keluar ruang dari ruang rawat putranya sambil berteriak memanggil Dokter. Alvin menahan badan Gabriel yang meluruh dilantai sementara Cakka menenangkan para gadis yang kompak menunduk takut. rasanya baru kemarin mereka bersenang - senang, mengobrol sambil bergandengan tangan seperti pasangan muda-mudi lainnya, meski kenyataannya sepanjang waktu hanya Ify sendiri yang bercerita, dia sendiri yang menggerakkan tangan Rio seolah menggenggamnya karena kekasihnya belum mau bangun. Tak apa, benar tak apa. Dengan begini saja dia merasa sangat beruntung bisa mencintai laki-laki itu.

Dalam diam, hatinya tidak terjeda melafalkan doa, memohon pada Tuhan untuk berbaik hati pada mereka yang belum siap ditinggalkan. Masih ada beberapa hal yang ingin mereka lakukan bersama. Lelakinya telah mencintai begitu besar, berupaya sekuat tenaga untuk membuatnya bahagia sedang dirinya belum mampu membalas apa-apa.

'Kamu baik-baik aja kan, sayang? Kamu nggak akan ninggalin aku kan? kamu udah janji loh'

Ify menangkupkan telapak tangan di depan wajah guna mengakhiri doanya tepat saat pintu ruang rawat terbuka, Dokter Andrean dan antek-anteknya keluar setelah memeriksa perkembangan kondisi Rio yang dikabarkan membaik sejak semalam.

Bu Manda dan Gabriel bangkit lebih dulu kemudian memburu Dokter itu dengan cepat.
"Bagaimana Rio, Om... eh, Dokter?" Seru Gabriel tak sabar.

"Dok, Rio nggak apa-apa kan?"

Dokter Andrean tersenyum ramah melihat tingkah Gabriel yang mengingatkannya pada pasien bandel di dalam ruangan yang baru ia tinggalkan. Tanpa sadar beliau menghela nafas berat, "Syukurlah. Rio udah nggak apa-apa, udah bisa ditemuin juga. Tapi hati-hati ya, anaknya belum begitu kuat"

"Serius? Om nggak lagi bohongin iy... assshh" Gabriel urung melanjutkan kalimatnya karena jeweran sang mama. Bibirnya mengerucut lucu seraya berbalik menatap Bu Manda yang tengah memasang wajah penuh intimidasi kepadanya.

"Kok Iyel dijewer sih, Ma..." Keluhnya.

"Abis kamu nggak sopan sama dokter!"

Iyel meringis, "Ya maaf, refleks sih" ujarnya membela diri.

"Ya tetep aja kamu nggak sopan!"

Dokter Andrean tersenyum melihat kedekatan keluarga ini, sekarang beliau tahu kenapa pasien yang baru saja bangun itu sempat memintanya melakukan beberapa hal, kini dia paham alasan dibalik semua itu.

"Kalau begitu saya permisi, tolong kerjasamanya ya?" Pamit beliau setelah suasana dirasa cukup baik.

Gabriel menggangguk mantap. detik berikutnya jemarinya sibuk mengetik sesuatu dengan ponsel pintarnya, hendak memberitahukan kabar bahagia ini pada mereka.

[2] BAHASA RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang