4 - Sakit itu Mulai Naik Satu Level

1.1K 78 4
                                    

Rio mengandeng Ify ke parkiran setelah berpamitan dengan teman-temannya untuk balik duluan karena Ify ada acara keluarga. Dalam perjalanan keduanya tidak berhenti tertawa mengingat alibi yang mereka gunakan jelas berbanding dengan kenyataan. Mereka tidak akan pergi ke acara keluarga melainkan ada janjian di tempat lain.

"Aku udah nelpon Pak Dedi buat beresin semuanya sementara kita pergi, kamu temenin aku ya?" pinta Rio begitu keduanya keluar dari gedung olahraga tempat Ray dan Deva melakukan pertandingan. Rencananya hari ini tidak boleh gagal karena Rio sudah menunggu sejak lama.

Ify mengangguk semangat, "Eh, tapi kamu yakin Pak Dedi bisa handle secepat itu? kerjaan berat masalahnya."

"Yakinlah." balas Rio santai, bagi orang awam yang tidak mengenal siapa Beliau dan anak buahnya, semua hal yang dilakukan kelompok besar itu adalah hal yang mustahil. "Pokoknya aku terima beres, Yuk?"

"Yuk."

Ify menggenggam erat jemari lelakinya yang terasa hangat, mobil Rio sudah terlihat, Ia mempercepat langkah sambil bercanda, menggoda Rio yang berjalan dibelakangnya.

"Hayo kejar, masa kalah sama cewek" Ify melanjutkan langkah, sedikit berlari karena Rio melangkah lebar di belakangnya, jangan lupakan kenyataan kalau Rio itu jagonya lari. Ify tersenyum senang, mobil Rio sudah di depan mata Ia hendak berhenti saat bunyi gedebuk terdengar dari belakang.

"Aduh..."

Ify berbalik cepat, berlari mendekati Rio yang tersungkur dengan tidak elitnya di atas aspal, "Ya ampuuun, hati-hati dong, kok bisa jatuh sih, nggak ada angin nggak ada hujan," Ify menutup bibirnya dengan satu tangan, melihat Rio tersungkur di bawah kakinya seperti itu adalah pemandangan yang langka, ditampang tampang polos sang pacar yang tampak terkejut dengan aksinya sendiri.

Rio menggelengkan kepalanya pelan, dia juga binggung kenapa dia bisa jatuh di saat badannya baik-baik saja. satu tangannya memijat pelan bagian paha yang terasa nyeri, sesekali meringis.

"Aduh, sakit banget ya? nggak luka kok, jatuhnya juga pelan" Ify segera berlutut, mensejajarkan dirinya dengan Rio yang masih terduduk.

"Alah, kamu lagi bercandain aku 'kan? Biar di perhatiin kayak di film-film? ngaku aja deh. lagian norak banget sih, caper sama pacar aja pake acara ngejatuhin diri sendiri, untung lagi sepi coba kalo—

"Ssstt..." Rio membekap bibir Ify dengan satu tangannya yang bebas, gemas dengan tingkat kebawelan gadisnya yang berkepanjangan. "Bawel banget sih pacar aku, aku tuh lemes aja belum makan, salah aku juga sih punya pacar sweet banget, Udah beli makanan eh, ditinggalin di tribun..." ujarnya berusaha menyamarkan suaranya senormal mungkin.

"Oiya, ya ampun sayang, aku lupa, aku ke dalem bentar deh ya, kamu tunggu di mobil aja" Ify berlari setelah mengucapkan kalimat panjang sambil menepuk keningnya keras.

Sepeninggal Ify, Rio menghela nafas lega, setidaknya Ify tidak melihatnya kesakitan sekarang, mereka ada janji dan Rio tidak mau semuanya berantakkan hanya karena kondisinya kembali tidak baik. Tidak ingin membuang waktu, Rio mencoba mengangkat badannya untuk berdiri tapi entah kenapa kaki kanannya seperti mati rasa, berkali-kali Ia mencoba menapakkan kaki kanannya ke tanah, tapi tetap tidak berhasil. Akhirnya, Ia menguatkan diri untuk berdiri, menopang tubuhnya dengan kaki kiri yang masih berfungsi dengan baik, berjalan tertatih mendekati mobilnya yang tidak terlalu jauh dari posisinya sekarang. Ia harus cepat sebelum Ify datang dan menangkap basah dirinya. Sesampainya di mobil, cepat saja Ia membuka pintu dan mendudukkan badannya di kursi samping kemudi, mengatur udara yang serasa berkejaran dalam paru-parunya, satu tangannya menghapus peluh yang tersisa di pelipisnya, kemejanya basah, pandangannya kurang jelas.

Hah!

Ia tersenyum miris, lagi Ia hampir dikalahkan oleh serangan itu. rupanya, petuah Dokter Andrean bulan lalu benar, tubuhnya perlahan akan memberontak dan Ia mulai bisa merasakan itu sekarang. Namun, ada hal yang lebih Ia takutkan selain rasa sakit itu, Ia khawatir jika suatu hari nanti Ia tidak bisa lagi bersembunyi, bagaimana jika nanti keadaannya memburuk dan dia hanya akan membuat mereka semua khawatir? Ah, memikirkannya saja Ia tidak sanggup.

[2] BAHASA RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang