6 - Kembali Menjadi Keluarga

1.4K 85 2
                                    

"Ketika kehidupan terasa lengkap, mungkinkah itu artinya tugas kita di dunia sudah selesai?"

***

Sinar mentari menerobos masuk melalui ventilasi kamar bernuansa Green Latte dengan aksen block di setengah dindingnya terasa begitu menenangkan. Bu Manda memandangi ketiga putranya yang masih terlelap diatas ranjang, saling tumpang tindih sebagaimana saudara pada umumnya.

Bu Manda tidak bisa menahan haru melihat kedekatan mereka meski Beliau tahu luka itu pasti masih ada, segala ketidakrelaan atas kejadian di masa lalu yang tidak akan pernah bisa hilang. Sungguh, tidak ada kata lain yang mampu Ia panjatkan selain bersyukur atas nikmat Tuhan, tanpa campur tangannya tentu semua keindahan ini tidak akan terjadi dengan mudah.

Salah satu nikmat tuhan yang sering dilewatkan oleh sebagian orang adalah memandangi sang buah hati ketika mereka sedang tidur, wajah polosnya mampu menjadi obat dari kelelahan sebanyak apapun, Beliau membuktikan itu sekarang. Melihat mereka tidur adalah nikmat luar biasa yang sensasinya tidak bisa digantikan dengan momen apapun di dunia ini.

Bu Manda menatap jam weker yang menunjukkan pukul 3 dinihari, masih sangat pagi untuk membangunkan mereka. Tidak lama beliau mengambil langkah untuk mundur dan keluar dari ruangan, membiarkan mereka melanjutkan lelap sementara beliau menyiapkan sarapan.

___

"Euunggh..."

Gabriel mengerjap cepat bersamaan dengan jam weker yang berdering nyaring di atas nakas, netranya bergerak melirik jam besar di dinding kamar, pukul setengah enam.

Ia menoleh, rupanya Rio sudah bangun dan sepertinya adiknya itu sengaja membiarkannya tidur tanpa berniat membangunkan. dasar, adik durhaka!

Gabriel beranjak bangun dari ranjang, menyisakan Ray yang masih bergelung di dalam selimut yang setengahnya sudah jatuh di lantai. Ah, entahlah Ia tidak ingat serusuh apa cara mereka tidur semalam tapi yang jelas Ia tidak akan melupakan setiap detiknya, detik dimana Tuhan mengembalikan keluarganya dengan cara yang tidak pernah Ia duga. Berjuta kali Ia mengucapkan terima kasih rasanya tidak akan cukup untuk membayar kebesaran hati Rio dan Pak Tama yang pada akhirnya memilih langkah ini.

Pukk...

Pukk...

Pukk...

"Ray... bangun dah pagi, lo nggak sekolah..." katanya menepuk pipi gembul Ray gemas, menggerak-gerakkan tangan, sebisa mungkin mengirim stimulus untuk meransang kesadaran adiknya.

"Lima menit lagi..."

"Lo mau mandi sendiri apa gue mandiin sekarang juga daripada kita telat!" lanjutnya sok lembut ditelinga Ray yang sukses membuat sang empunya nama menatap Gabriel jengah, netranya menyipit tidak suka.

"Iya... iya... gue bangun" katanya sebelum beranjak keluar, kembali ke kamarnya yang hanya berbeda pintu dengan kamar sang kakak.

Sepeninggal Ray, Gabriel memilih untuk bangkit, melangkah sedikit tergesa ke kamar mandinya yang masih tertutup. "Yo, lo masih lama? udah mau jam enem nih" tanyanya memastikan.

"Hmm, Lo mandi di bawah aja!"

Gabriel mendengus pasrah.

'So, setelah merelakan kamarnya jadi korban kenistaan, sekarang dia harus merelakan kamar mandinya juga, gitu?'

"Yaudah deh, sekalian gue liatin si Alvin udah dateng apa belum."

"Hmmm..."

Rio membuka pintu kamar mandi setelah memastikan Gabriel sudah pergi, mengatur nafas yang masih terasa berat, beruntung serangan fajar tadi bisa teratasi dengan cepat. Kalau tidak, Ia tidak yakin bisa menyembunyikan itu dari sang Kakak.

[2] BAHASA RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang