Mentari menyambut riang bersama kicauan burung dari arah balkon kamar, suitan merdunya laksana lagu paling indah yang tengah memanjakan para penikmatnya dimanapun mereka berada. Gabriel membuka mata perlahan saat dirasa wajahnya seperti tersorot lampu pijar besar, panas. Obsidian gelapnya menyipit, memandangi langit-langit kamar bernuansa peach di hadapannya hingga tersadar dimana dirinya berada sekarang. Dengan tenaga seadanya, Gabriel membuka mata lebih lebar, menarik kembali kesadarannya yang sempat terenggut.
Euungghh...
Dia melenguh panjang, kantuk menguasai netranya tanpa ampun seolah tidak ada hari esok untuk tidur. Dia tidak bisa mengalah, menuruti hasrat biasa jelas tidak akan ada habisnya, lagipula sekarang bukan hari libur sehingga dia harus bersiap ke sekolah."Vin... bangun, udah pagi" Gabriel menggoyangkan badan lain disampingnya, semalam mereka benar-benar seperti orang kurang kerjaan karena Alvin tidak bisa tidur hingga larut malam. Dia sampai lupa, siapa yang tertidur duluan, tapi yang jelas berantakkannya kamar ini menjadi bukti apa saja yang mereka lakukan semalam.
"Jam berapa sih, Yel?" itu suara Alvin
Gabriel beranjak duduk setelah kesadarannya mulai kembali, bersandar di ujung ranjang, menyempurnakan pengelihatan yang masih berbayang, "Nggak tahu, pokoknya pagi"
Alvin mengikuti gerakan Gabriel untuk bangun, mengucek matanya seperti anak kecil kemudian menarik sembarang selimut yang sejak semalam membungkus tubuh mereka. "Minggir, lo!" suruhnya saat sudah setengah duduk. "Gue mau rapihin selimut"
Seolah baru saja mendapat predikat anak teladan Gabriel beranjak begitu dari tempatnya menjadi duduk diatas ranjang yang ternyata sudah kosong. rupanya, Cakka sudah bangun dan entah dimana anak itu sekarang.
Alvin melanjutkan niat baiknya, merapikan selimut, bantal, guling kemudian menatanya di samping Gabriel, terdiam agak lama hingga kesadarannya mulai kembali. Ah, dia hampir lupa jika semalam mereka menginap dikamar sang putra mahkota, pantas kamar ini tampak jauh lebih besar dan lebih rapi daripada biasanya. masih dengan upaya menghilangkan kantuk yang tersisa, Alvin memandangi seisi kamar. seperti biasa, selain luas dan memiliki balkon yang berhadapan tepat dengan kamarnya, kamar ini selalu enak dilihat, setiap sudutnya memiliki unsur seni yang selalu membuatnya betah, paket lengkaplah istilahnya.
Tapi, tunggu, tunggu dulu...
Apa itu?
Alvin menyipitkan menyisakan sebuah garis tipis dibawah alis, berusaha menajamkan pengelihatan diantara kantuk yang masih mendominasi, karena jarak yang cukup jauh dia memilih untuk mendekat menuju sofa hijau bulat yang kini menyita perhatiannya. Ada gulungan kain besar disana, melengkung di setiap sisi sofa seperti ulat bulu, tapi ini versi besarnya.
"Ngapain coba dia tidur disini, nggak enak banget, pasti!" gumam Alvin menyentuh gulungan besar itu, membukanya asal hingga menampakkan lipatan kaki seseorang, dari postur badannya, Alvin jelas tahu siapa gerangan si ulat bulu raksasa ini, "Woy... bocah, bangun..." panggilnya menggoyang gulungan itu lumayan keras.
Hening.
"Yoooo, bangun kek! pindah kasur, sono!" Dia bergerak membuka gulungan itu sekali lagi, mengoyak selimut yang kini terasa lebih mudah untuk dibongkar, tidak butuh waktu lama untuk membukanya hingga badan si ulat bulu terlihat setengah. Dia semakin yakin dugaannya tidak salah, pundak kokoh yang kini tertelungkup membelakanginya jelas milik Rio, Bukan Cakka atau Ray yang mungkin tidur sambil jalan hingga nyasar ke kamar ini.
"Yoooo... bangun..."
"Yooo, Iyooooo..."
"Yoooo..."
"Bangun nggak lo! kebo banget sih" Alvin menggoyang pundak itu lebih keras, dua agak panik karena Rio tidak merespon apa-apa, tidak biasanya Rio susah dibangunkan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] BAHASA RASA
Ficção AdolescenteSEKUEL : [1] LUKA SEMESTA Blurb : Akhirnya, setelah melewati perjuangan yang panjang Rio bisa berdamai dengan masa lalu, menikmati kebersamaan keluarga yang selama ini dia rindukan bersama wanita yang dia perjuangkan. Siapa sangka, Rio akhirnya b...