Gabriel terduduk lemas di samping kolam renang di rumah Sivia. butuh waktu beberapa hari hingga akhirnya Ia berani membicarakan semua fakta yang baru-baru ini diterimanya pada sang gadis pujaan. Sesuai ekspektasi, Sivia tidak menampik fakta itu dan justru membenarkan sebagaian besar tindakan Rio meski Gabriel sudah menjelaskan rasa ketidakadilan yang dialaminya, tapi Sivia tidak peduli.
Gabriel jadi bingung, sebenarnya Sivia ini pasangannya apa bukan? kenapa gadis itu seolah sangat mendukung Rio dan menyetujui semua ide gila yang telah digagas adiknya itu.
"Aku kenal kalian tuh, udah lamaaaa banget. dan dimata aku, kalian berdua masih manusia yang sama yang dulu pernah berdiri disini berdampingan cuma demi nunggu jawaban aku. Lagian nih ya, sekarang kita nggak lagi ngomongin siapa yang lebih kompeten dari siapa, kita cuma lagi realistis aja sama apa yang ada di depan. Aku cuma lagi berusaha ngerti apa yang mungkin Rio pikirin sebelum dia nyerahin kepemimpinan perusahaan Ayah Marcel sama kamu! dan ya aku pikir keputusan Rio ini udah tepat, banget. untuk sekarang."
"Iya tapi aku ngerasa nggak mampu, Vi! Ini semua terlalu tiba-tiba buat aku!"
"Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini kalau kita mau berusaha, Aku aja percaya kok kamu bisa, masa kamu nggak percaya sama diri kamu sendiri"
"Ya... tapi... aku nggak bisa kayak Rio. Dia jago di banyak bidang sementara aku..."
Sivia menepuk pundak Gabriel pelan, "Nggak ada yang minta kamu jadi dia, Yel. Kamu cukup mengusahakan yang terbaik versi kamu. Selebihnya biar para karyawan yang nilai kamu sudah pantas atau belum."
"Kalau aku gagal?"
"Huus! Ngomongnya!" potong Sivia cepat.
"Aku cuma bicara fakta, Vi" Gabriel menunduk, pikirannya seruwet benang kusut yang meski berhasil diuraipun bentuknya tidak bisa sesempurna yang asli.
"Kita nggak akan tahu hasilnya kayak apa selagi kamu stuck disini aja!"
"Tapi aku nggak siap"
Sivia menghela nafas kasar, bingung harus berkomentar seperti apa terhadap pemikiran Gabriel saat ini, "Kamu udah ngomong sama Rio tentang ini?"
Gabriel menggeleng.
"Deep talk berdua coba!"
"Jiper, Vi."
"Astaga! takut apaan coba? ngobrol sama adik sendiri nggak bakal bikin pamor kamu turun kok!"
"Nggak usah diperjelas bisa kali!" Gabriel merengut sementara Sivia terkekeh puas melihat wajah terintimidasi sang kekasih.
"Jangan melulu takut sama sesuatu yang kamu sendiri belum tahu kedepannya akan seperti apa. Kalau Rio aja bisa percaya sama kamu, kenapa kamu nggak bisa percaya sama diri kamu sendiri?"
Skakmat!
***
Rio menyandarkan punggungnya di tepi ranjang, badannya masih lemas, pusingnya belum hilang dari tadi siang. Tapi sebisa mungkin dia tidak menunjukkan itu pada Gabriel yang katanya akan menginap malam ini.
Agak speechless sebenarnya.
Mengingat pertemuan terakhir mereka belum bisa dikatakan sebagai titik balik dan hubungan keduanya saat ini juga bisa dikatakan belum baik-baik saja.Persahabatan yang mereka banggakan memang tidak berakhir hari ini, tapi kesenjangan yang mereka ciptakan di dalam rumah tentu belum sepenuhnya selesai karena waktu lebih dulu merenggut kesempatan dimana Rio hendak memperbaiki situasi itu.
Dan parahnya, kesenjangan itu mengisi kekosongan ruang rawat ini sekarang.
Rio tidak tahu harus memulai darimana, yang bisa dilakukannya hanya menatap dalam diam kakaknya yang sejak tadi hanya duduk di sofa tanpa melakukan apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] BAHASA RASA
Teen FictionSEKUEL : [1] LUKA SEMESTA Blurb : Akhirnya, setelah melewati perjuangan yang panjang Rio bisa berdamai dengan masa lalu, menikmati kebersamaan keluarga yang selama ini dia rindukan bersama wanita yang dia perjuangkan. Siapa sangka, Rio akhirnya b...