Aku masih duduk termenung ketika semua orang meninggalkan bale, reaksiku berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat dengan Tiana yang wajahnya masih terlihat memerah karena masih merasa tidak percaya dengan peristiwa yang dilaluinya tadi. Sementara itu dua pemuda, cucu dari tetua adat yang tak lain adalah Axcel dan Andre menghampiri kami berdua. Tiana yang melihat Axcel berjalan kearahnya semakin membuatnya salah tingkah, tapi Axcel tiba-tiba menarik tangan Tiana.
"Tiana..." Aku yang melihat Tiana ditarik, berusaha berdiri untuk mengejarnya. Tapi Andre terlebih dahulu menghalangiku.
"Biarkan Tiana pergi dengan kak Axcel." Kata Andre.
Aku mematung. Terdiam seribu bahasa.
"Maafkan aku, mungkin selama ini aku kasar padamu. Tapi aku tidak bermaksud seperti itu, itu hanya sebagian dari sifatku." Kata Andre tertunduk.
"Apa mungkin si bongkahan es ini meminta maaf karena perilakunya waktu itu ya? Wah, jangan-jangan mungkin dia ini punya sifat tsundere..." Gumamku dalam hati.
"Tapi aku tidak akan pernah menyuruhmu untuk menyukaiku. Aku tidak ingin kau merasa terpaksa yang akan membuat batinmu merasa tersiksa. Katakanlah dan dalam waktu delapan bulan kau bisa terlepas dariku dan semua ritual ini." Kata Andre menatapku dalam-dalam, menyingkirkan tatapan dinginnya yang membekukan. Mungkin ia sebenarnya tidak ingin melihat aku menjalani hubungan ini secara terpaksa.
"Aku sebenarnya sangat mengagumimu ketika pertama kali melihatmu. Tapi semua cacimaki dan kata-kata kasarmu sungguh membuatku sakit hati. Dan aku juga tidak memiliki alasan untuk menerimamu walau mungkin keluargaku sangat menginginkan hal ini. Tapi ku mohon dalam waktu delapan bulan ini buat keluargaku mengerti bahwa aku tidak bisa bersamamu." Tegasku. Andre terdiam, ia kemudian menghela nafas dalam-dalam.
"Aku ingin mengetahui sesuatu." Kata Andre dengan suara yang berat.
"Apa?" Tanyaku getir.
"Apakah hatimu masih kosong?" Tanyanya.
"Ha? Aku tidak salah dengar? Ini..." Mataku terbelalak mendengarnya.
"Maaf Andre." Aku memandangnya tanpa mengedipkan mata.
"Hatiku telah terisi oleh Julius." Lanjutku.
Andre hanya tersenyum, senyumnya itu seperti senyum yang sedih. Aku tidak mengira ia akan bereaksi seperti itu. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ia pergi dari hadapanku. Aku tidak tahu apakah yang aku lakukan ini adalah benar. Kata-kataku pasti telah menyakiti hatinya. Aku merasa bingung dan bimbang dengan semua peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba yang tak pernah ku bayangkan aku akan terjebak dalam situasi seperti ini.
Aku berusaha melangkahkan kakiku yang terasa berat menuju keluar bale. Pesta penyambutan masih berlangsung diluar, rangkaian acara terakhir sementara berlangsung. Semua penduduk, tua, muda, maupun anak-anak, tak terkecuali penduduk transmigran menari bersama di dalam tarian tradisional yang bernama dero, sebuah tarian dimana kita harus saling berpegangan tangan dan membentuk lingkaran. Diiringi musik nggongi dan ganda, yang membuat tarian itu seperti hidup ditengah keremangan malam yang mulai menjelang. Badanku yang terasa lelah setelah menghabiskan waktu seharian di tempat ini memilih untuk berdiam diri saja mengamati peristiwa yang sedang berlangsung. Melihat keluargaku gembira dan tertawa mengikuti tarian itu sungguh merupakan sesuatu yang mendamaikan hati, yang sejenak membantuku melupakan hal-hal yang terjadi.
Suasana semakin meriah kala semakin malam, beberapa pemuda dan pemudi menyanyikan lagu bersahut-sahutan dengan nada yang riang. Sangat gembira.
Ee nona ee nona iwenu pai nu kabaga, bonce be manana Ee bonce... ee bonce, iwenu pai be manana, pai be manana, kaju wota-wota
Ee kaju, ee kaju, iwenu pai nu ka wota, pai ku ka wota, na tudusi uja, ee uja, ee uja, iwenu pai nu katudu, pai ku katudu, da napandiu ntumpa
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuana Mahile You Are My Destiny [Completed]
Ficción histórica[Highest rank #11 in Historical Fiction] Transmigrasi, kata itu membuatku dan keluargaku meninggalkan istana ibu pertiwi kami yang indah. Menempuh hidup baru di negeri orang, tapi hidup baru yang kutempuh itu benar-benar mengubah hidupku saat aku pe...