Hai... hai... update lagi nih!
Jadi updatenya itu tiap hari senin ya, bagi yang suka sama cerita ini please comment dan votenya ya...
Happy reading ^^
***
Gemericik air hujan membuat pagi hari terasa segar, aku dan keluargaku tengah bercengkerama di ruang tamu dengan kesibukannya masing-masing. Aji terlihat sedang menikmati secangkir kopi hitam hangat sambil membaca koran edisi terbaru minggu ini, walau desa ini merupakan salah satu desa terpencil hal itu tidak mengurangi kemudahan akses jalan hanya untuk sekedar membawa surat kabar dari kota. Dan di sudut ruang tamu Biyang tengah terlihat asyik merajut sembari bersiaga telinga mendengarkan alunan melodi-melodi lagu Koes Plus yang berjudul Pagi yang Indah yang sedang tren tahun tujuh puluhan ini di radio antik kesayangannya. Sementara itu Dayu Rani telah berangkat ke sekolah sejak tadi pagi. Sedangkan aku sendiri tengah menikmati secangkir kopi susu hangat ditemani oleh buku favoritku "BUMI MANUSIA" karya Pramoedya Ananta Toer, yang sampai sekarang harus aku samarkan sampulnya, karena jika ketahuan membaca buku ini bisa tamat riwayatku, karena buku ini merupakan salah satu buku terlarang pada zaman ini, tapi hal itu malah membuatku sangat penasaran dengan isi di dalamnya dan ingin merasakan keindahan sastra dalam buku ini.
"Dayu, selamat ya sayang. Keinginan Biyang benar-benar tercapai." Biyang membuka pembicaraan. Aku hanya terdiam terpaku pada buku yang ku pegang, aku tahu yang dimaksudkan Biyang adalah tentang perjodohan kemarin.
"Kamu harus menerimanya sepenuh hati nak, ini demi kebaikanmu juga." Kata Aji.
"Tapi apakah TUANA MAHILE yang diberikan itu sudah kamu simpan baik-baik?" Tanya Biyang, aku terperangah mengingat baju itu sudah tidak ada di tanganku kemarin ketika berbicara dengan Andre.
"Mmm, Biyang sepertinya..."
"Selamat pagi!" Seseorang mengetuk pintu dari luar yang menyebabkan perhatian teralih. Aku menghela nafas lega.
"Rianya ada?" Tanya seseorang di balik pintu ketika Biyang membukakan pintu untuknya.
"Ada, ayo masuk dulu." Kata Biyang.
"Terima kasih Tante." Balasnya pada Biyang.
"Selamat pagi Om." Sapanya pada Aji ketika ia berdiri tepat di depan diantara tempat Aji dan aku duduk.
Seorang pemuda berbadan tegap yang berdiri itu kemudian aku persilahkan untuk duduk.
"Ini..." Katanya seraya menyodorkan sebuah bingkisan.
"Kata kak Andre kamu lupa bawa." Lanjutnya.
"Oh, iya mungkin kamu sudah lihat saya kemarin. Saya Alfi adik kak Andre, tapi saya bingung harus panggil kamu siapa soalnya kata kak Andre umur kamu lebih kecil dari pada saya. Sedangkan kamu belum resmi jadi anggota keluarga." Kata pemuda berparas tampan bak pangeran dari Tionghoa yang tengah berbicara di hadapanku.
"Panggil Ria saja. Ngomong-ngomong bingkisan ini isinya baju TUANA MAHILE ya?" Aku berbisik. Ia tersenyum dan mengangguk.
"Tapi kenapa kamu bawa kesini ditengah hujan seperti ini? Bukankah baju ini bisa rusak nantinya?" Tanyaku memperhatikan bingkisan itu.
"Tidak apa-apa Ria, itu aku lakukan untuk menghindari takdir buruk. Sebenarnya ketika kamu meninggalkan baju itu kemarin sudah merupakan suatu pantangan." Ia balas berbisik. Tiba-tiba Aji menoleh ke arah kami berdua. Kami hanya tersenyum seperti orang yang cengengesan.
"Kalau sebentar hujannya sudah reda, tolong temui saya di bawah pohon dekat sawah. Ada hal yang harus saya katakan, dan hal itu sangat penting sekali." Katanya.
"Oke, tidak masalah." Sahutku.
"Kalau begitu saya permisi ya..." katanya kemudian berdiri dari tempat duduknya.
"Om, tante saya pamit pulang." Kata Alfi seraya membungkuk hormat, kemudian pergi meninggalkan rumahku dan hanya menyisakan jejak kakinya saja.
Aku hanya tersenyum ketika kedua orang tuaku bertatap pandang ke arahku.
"Itu adiknya Andre kan?" Tanya Aji.
"Iya Ji..."
"Wah, sepertinya dia anak yang sopan." Aji mengangguk-angguk ringan.
"Oh ya, kamu belum jawab pertanyaan Biyang tadi. TUANA MAHILE -nya bagaimana?" Tanya Biyang yang sejenak terhenti dari rajutannya.
"Ada kok. Sudah Dayu simpan di lemari hehe..." Aku nyengir.
"Kenapa kamu kayak anak yang cengengesan begitu." Aji nyeletuk.
"Ah, nggak ada apa-apa kok Aji. Dayu mau ke kamar dulu." Kataku lalu beranjak melangkahkan kaki ke kamar.
Aku menyimpan baju yang masih terbungkus rapi itu di dalam kotak yang berukir bunga krisan di dalam lemari, sejenak aku memandangi kotak yang berwarna keemasan itu. Pikiranku dengan liar melayang kemana-mana. Pandanganku kemudian teralih ke luar jendela, tetesan air itu masih saja turun dari langit, jujur saja aku sangat bingung dengan situasiku yang sekarang. Perasaanku bimbang antara gembira dan tak gembira, karena di satu sisi telah bertemu dengan sahabat masa kecilku dan disisi lainnya aku harus menerima seseorang masuk ke kehidupanku tanpa kuinginkan.
"Hah, aku ingin seperti pohon yang tidak akan goyah walau ditimpa oleh hujan dan angin. Tapi apa daya aku hanya sehelai rumput liar yang selalu dan selalu akan terbawa oleh angin jika aku sampai pada batasku. Sial!" Aku mendongkol seorang diri di kamarku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuana Mahile You Are My Destiny [Completed]
Fiksi Sejarah[Highest rank #11 in Historical Fiction] Transmigrasi, kata itu membuatku dan keluargaku meninggalkan istana ibu pertiwi kami yang indah. Menempuh hidup baru di negeri orang, tapi hidup baru yang kutempuh itu benar-benar mengubah hidupku saat aku pe...