Aku terbangun dari mimpi panjang yang melelahkan. Tubuhku harus berbaring di ranjang entah untuk berapa lama membuatku merasa ngeri. Jam-jam berikutnya kulewatkan dalam suasana dingin dan gelap di kamarku. Dari celah di antara tirai gorden jendelaku, aku bisa melihat dengan jelas kilat menyambar-nyambar dalam derasnya hujan. Begitulah waktu bergulir, sampai aku hanya bisa merasakan kehangatan dari balik selimutku yang aku tarik sampai di bawah hidungku. Air mataku kembali mengalir, pikiranku melayang kembali pada saat-saat yang memilukan itu.
Perasaan sedih itu melandaku demikian kuatnya sampai-sampai aku tak bisa memejamkan mataku lagi. Ingatan-ingatan itu bagaikan air keruh dalam pikiranku yang kini menyeruak lagi. Mungkin inilah yang dikatakan bahwa manusia tak akan pernah menuai cinta sampai dia merasakan perpisahan yang menyedihkan, dan yang mampu mebuka pikirannya. Merasakan kesabaran yang pahit dan kesulitan yang menyedihkan. Tapi apakah salahku hingga aku harus merasakan semua itu? Dan mengapa rasanya begitu keji? Sampai ia harus pergi dengan seperti itu.
Mataku yang tak bisa terpejam kini membangkitkanku. Di tengah cahaya kilat, aku tertatih kearah lemariku dan mengambil sebuah kotak yang berukir bunga krisan keemasan. Aku membukanya pelan-pelan, TUANA MAHILE masih terbungkus dengan rapi. Apa yang akan terjadi Andre, pada semua ini? Tanyaku dalam hati. Aku membelai baju yang terbuat dari kaliken itu. Mengingat ketika ia memilihku dan menyodorkannya tanpa menunjukkan mimik yang kuat.
Tiba-tiba pikiranku terhenti pada sebuah ingatan "jika kau tidak menerimanya dengan tulus maka nasib buruk akan terjadi" aku terdiam dengan tangan yang mulai gemetar memegang baju TUANA MAHILE ini. Apakah ini yang dimaksud hal buruk, Karena saat pemberiannya hatiku tak tulus? Apakah ini hukumannya? Bukankah ini berarti salahku? Dengan pertanyaan-pertanyaan itu aku benar-benar merasa menyalahkan diri sendiri.
Kata-kata Andre saat itu, memintaku menerimanya dan mengukir takdir yang indah, tidak ku jawab dengan baik. Aku malah mengacuhkannya saat itu dalam sikap dinginnya yang kental. Aku meletakkan baju itu kembali dalam posisi semula dan meletakkannya di dalam lemari.
Petir masih menyambar-nyambar dan suara gemuruh menggelegar memekakkan telinga bagai sebuah bom yang dijatuhkan dari langit dan meledak dengan dahsyatnya, yang tak hanya mengagetkan jantung yang telah berdegup kencang tapi juga membuat seluruh tubuh gemetar. Angin-angin menari dengan kecepatan sesuai kilat yang menyambar, menyapu segala hal yang ada di depannya tanpa ampun, tak bisa memilih sesuai keinginannya atau mungkin ungkapan yang lebih tepat ia tak memandang bulu. Hal itu menyebabkan butiran-butiran air hujan jatuh dengan terombang-ambing mengikuti hembusan angin itu. Beberapa kali menerpa jendelaku dengan kasar dan beberapa kali menjauh dengan tenang.
Gelap, sepi, dingin, suram, muram, kelam dan menakutkan. Aku tak bisa memilih memejamkan mata atau tidak, karena jika memejamkan mata, aku akan berada di alam yang lebih mengerikan dari ini. Tapi tetap saja mataku tak bisa diajak berkompromi, waktu terus melaju, aku kembali terlelap dalam mimpi buruk yang tak berkesudahan benar-benar membuatku lelah, dan mimpi-mimpi itu menelan semua rasa dengan teramat kejamnya. Kapankah akan berakhir? Aku rasa tidak mungkin akan berakhir. Hukuman, mungkin ini hukuman bagiku. Ah! Aku benar-benar merasa seperti orang gila.
***
Pagi ini, lebih cerah dari kemarin. Pancaran cahaya mentari yang hangat rasanya seperti mengusir berbagai macam kekalutan, namun tak berimbas pada hatiku yang masih sesak oleh kepedihan. Pagi ini, Biyang dan Aji tak banyak bicara, mereka lebih memilih diam. Mereka mengerti aku merasakan sebuah pukulan yang membunuh dan ingin memberiku waktu untuk menyembuhkannya tanpa diganggu. Hari ini, pemakaman dilakukan. Tapi entah mengapa badanku terasa berat untuk beranjak dari tempat tidur. Aku sebenarnya tak ingin meyakini kepergian mereka, jadi tak apakan bila aku tak datang? Akankah aku menyesal? Akankah aku menyalahkan diriku lagi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuana Mahile You Are My Destiny [Completed]
Historical Fiction[Highest rank #11 in Historical Fiction] Transmigrasi, kata itu membuatku dan keluargaku meninggalkan istana ibu pertiwi kami yang indah. Menempuh hidup baru di negeri orang, tapi hidup baru yang kutempuh itu benar-benar mengubah hidupku saat aku pe...