Fajar menyingsing, panggilan alam membuatku membuka mataku dan pikiranku yang kelam. Detik yang bergulir ini menerbangkan otakku memikirkan Andre, memikirkan Alfi dan yang lainnya. Sekarang aku tidak bisa berlama-lama di tempat tidur. Setidaknya kakiku dan tenagaku sudah membaik, aku harus keluar, pikirku.
"Dayu... kamu sudah bangun nak?" Tanya Aji, saat melihatku sedikit tertatih-tatih berjalan ke ruang tamu.
Aku mengangguk ringan membalas tatapan Aji dengan wajahnya yang masih memancarkan kesedihan. Aku menatap Biyang yang sedang duduk memangku Dayu Rani. Suasana terasa kelam dalam keheningan yang tengah menyeruak. Bumi pun sepertinya turut merasakan hawa yang tak menyenangkan ini, tak ada setetes sinar hangat yang terang menyinari, langit hanya dipenuhi oleh awan hitam yang terbang kesana-kemari tertiup oleh hempasan angin yang siap menggulung awan-awan itu.
Mataku masih memandang kedua orang tuaku dengan wajahnya yang suram. Apa maksudnya ini? Tanyaku dalam hati. Angin berhembus menerpa sela-sela pintu dan jendela memasuki celah itu dan hinggap di kulitku yang seketika membuat rambut-rambut halusku berdiri tegak, bagai sebilah pisau yang siap menusuk apapun yang menindihnya.
"Sayang... ayo, Aji rasa kamu harus melihat proses pengevakuasian korban." Kata Aji, nada bicaranya seperti menghela. Biyang juga menatapku dan mengangguk. Aku membalas anggukan itu.
Aku berjalan keluar rumah, berpegangan tangan dengan Aji dalam cara berjalanku yang belum normal betul masih tertatih karena nyeri di kaki. Sweater tebal berwarna cokelat tua membungkus tubuhku. Tangan kanan Aji yang ku pegang terasa begitu lembut, ia berjalan perlahan menyesuaikan langkahnya dengan langkahku. Sementara tangan kirinya memegang paying yang berwarna biru tua dan bercorak flora dibagian ujungnya.
Kami berjalan menyusuri jalan di desa yang dipenuhi oleh kerikil-kerikil kecil yang sesekali tak sengaja kutendang. Hingga akhirnya tiba di sebuah jalan setapak yang menghubungkan dengan goa. Aku teringat malam itu, betapa indahnya sinar rembulan yang menyinari. Dituntun dan dirangkul oleh Andre menuju ke batu-batu bersinar yang jarang bisa dilihat.
Tapi kini mulut goa itu dipenuhi oleh orang-orang dan polisi yang berjaga di sekitarnya. Saat aku mulai mendekat tak ada satu matapun yang menatap kearahku tanpa menunjukkan tatapan suram, muram, dan kelam, ditelan oleh kesedihan yang mendalam. Aku tahu pasti hal buruk telah terjadi, apakah karena ledakan kemarin? Tidak mungkinkan karena ledakan itu ada yang meninggal. Mereka pasti berhasilkan menyelamatkan diri kemarin? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepalaku.
"Aji sebenarnya bagaimana keadaan mereka? Bagaimana dengan Andre?" Tanyaku merengek dengan gelisah pada Aji.
"Kita tunggu disini saja." Sahut Aji, matanya memandang kearah goa.
Beberapa polisi keluar dari mulut goa, dengan membawa tandu yang diselimuti kain kasa putih yang telah kotor. Terlihat kotor karena tanah atau darah. Oh tidak, inikah mereka? Air mataku mulai mengalir. Satu per satu korban terus keluar dari mulut goa yang kini telah dipenuhi oleh obor. Tandu-tandu itu kemudian diletakkan sejajar. Hingga delapan belas tandu telah berjejer dengan rapi, aku melihat salah satunya sangat besar, aku menebak pasti itu adalah bos besar. Sialnya mereka tidak mau untuk berbicara, bernegosiasi untuk menyelesaikan masalah ini. Tapi nasi sudah menjadi bubur, jalan yang salah itu ia pilih dengan senang hati sehingga dengan senang hati pula lobang kematian merenggut nyawa orang yang berada di sekitarnya, ya bukan hanya dia.
Mataku kini berpencar, aku berharap semoga Andre bukanlah salah satu dari mereka. Tiba-tiba sebuah tangan yang lembut memegang bahu kananku. Aku mendongakkan kepalaku ke arah kanan, kearah orang itu. Terbelalak, mataku melotot, aku melihat Alfi, keadaannya tidak lebih baik dariku. Tangan kanannya terperban begitu juga kepalanya. Wajahnya masih dipenuli luka lebam yang membiru dan di tangan kirinya terlihat beberapa goresan yang disebabkan oleh luka kecil. Aku memandanginya dengan rasa terharu, setidaknya ini berarti Andre juga selamat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuana Mahile You Are My Destiny [Completed]
Fiksi Sejarah[Highest rank #11 in Historical Fiction] Transmigrasi, kata itu membuatku dan keluargaku meninggalkan istana ibu pertiwi kami yang indah. Menempuh hidup baru di negeri orang, tapi hidup baru yang kutempuh itu benar-benar mengubah hidupku saat aku pe...