Sudah dua hari aku menghabiskan waktu di kamarku sejak kejadian itu. Makanan yang dibawakan oleh Biyang tak kusentuh. Tatapanku kosong keluar jendela, aku bimbang untuk mempercayai mana yang seharusnya aku percayai. "Dua hari telah berlalu seharusnya Andre sudah pulang dari kota" kataku dalam hati.
"Dayu sayang ayo makan dulu..." Kata Biyang membuka pintu kamarku dan membawakan semangkuk bubur yang dipenuhi dengan sayuran dan dicampuri ubi jalar.
"Apa ini?" Tanyaku melihat mangkuk itu dengan tidak selera.
"Ini namanya bubur Tinutu'an, Biyang baru belajar sama tetangga yang asli dari Manado di sebelah." Kata Biyang sumringah.
"Tidak, Dayu tidak nafsu makan." Aku mendorong mangkuk yang berada di atas nampan yang Biyang sodorkan.
"Jangan seperti itu sayang, kamu harus makan kalau nanti kamu sakit Biyang lagi yang repot. Tolong dimengerti kamu sudah dewasa, pasti ada alasannya Aji bersikap seperti itu." Ucap Biyang kemudian meletakkan Tinutu'an itu di meja di samping tempat tidurku.
Dengan terpaksa aku memakannya, tapi mulut dan perut memang tidak akan pernah berbohong seburuk apapun situasi kita, makanan adalah sesuatu yang utama. Aku memakannya dengan lahap. Biyang tampak tersenyum ketika meninggalkan kamarku namun aku masih memasang wajah datar.
"Dayu, ada nak Andre datang..." Kata Aji membuka pintu kamarku. Aku melihat Aji dengan tatapan sinis.
"Hai Ria..." Sapa Andre, dia kemudian duduk di sampingku.
"Apa kabar?" Tanyanya, aku tidak menjawab dan hanya melontarkan tatapan sinis.
"Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau bicara. Tapi aku harap kau seperti ini bukan karena laki-laki itu." Kata Andre. Aku menghela nafas.
"Kau tidak tahu apa-apa lebih baik tutup saja mulutmu itu! Kau bahkan tidak peduli!" Ucapku ketus.
"Aku peduli padamu itu sebabnya aku kemari. Aku tahu rasa sukaku ini mungkin tak akan pernah terbalaskan, tapi setidaknya aku ingin memberikan kebahagiaan padamu." Kata Andre serius.
"Aku... aku tidak mengerti dengan semua hal yang menimpaku. Kalian berdua sama-sama baik. Aku sungguh bodoh aku tidak bisa memilih diantara kalian!" Balasku meringis.
"Kau pasti bisa memilih, aku ingin membuka hati yang tak pernah terjamah ini untukmu. Tapi aku yakin itu pasti akan sulit, untuk itu maukah kau menjadi temanku terlebih dahulu? Aku minta maaf selama ini sudah bersikap kasar padamu. Aku tidak tahu bagaimana aku harus mengambil sikap dengan wanita jadi aku mohon buatlah takdir TUANA MAHILE yang indah di bawah kuasa Tuhan." Katanya, memegang tanganku. Aku menatap matanya, pancaran mata yang hangat seperti tak ada keraguan. "Apakah ini pengakuan?" Tanyaku dalam hati.
"Ya Tuhan hatiku penuh dilema." Bisikku pada hati kecilku.
"Kau bersedia menerimaku?" Tanya Andre.
"Iya aku bersedia." Jawabku.
"Terima kasih banyak Ria." Andre tersenyum pancaran wibawa ketampanannya menyeruak tiba-tiba membuatku cegukan ringan.
"Hei, hei... ini minum dulu." Katanya seraya memberiku segelas air.
"Terima kasih." Responku.
"Ria, besok lusa akan ada acara padungku di desa aku ingin kau membantuku mengawasi jalannya acara." Ucap Andre sembari menyimpan gelas ditempatnya semula.
"Padungku?" Tanyaku, karena terasa asing mendengar kata itu.
"Mmm, mungkin kau belum pernah mendengarnya. Jadi padungku itu seperti ucapan syukur setelah panen, semacam pesta rakyat yang diadakan setahun sekali. Bagaimana?" Tanyanya.
"Tentu saja." Sahutku, mengingat ketika aku baru transmigrasi, lahan persawahan penduduk di sini sebagian besar memang sudah mulai menguning.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita jalan-jalan kau pasti bosan mengurung diri selama dua hari di kamar, sekalian mau ngasih tahu ke penduduk yang akan bertugas menyiapkan perlengkapan di acara itu." Kata Andre dengan nada meledek.
"Bukan mengurung diri. Tapi dikurung! Itu semua gara-gara kamu tahu!" Seruku, aku berusaha keras menahan tawa melihat raut wajah Andre yang kaget.
"Kenapa jadi salahku?!" Andre menyipitkan matanya.
"Ya sudah ayo kita pergi..." Kataku sembari mengenakan cardigan berwana krem.
![](https://img.wattpad.com/cover/93224026-288-k911565.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuana Mahile You Are My Destiny [Completed]
Historical Fiction[Highest rank #11 in Historical Fiction] Transmigrasi, kata itu membuatku dan keluargaku meninggalkan istana ibu pertiwi kami yang indah. Menempuh hidup baru di negeri orang, tapi hidup baru yang kutempuh itu benar-benar mengubah hidupku saat aku pe...