DELAPAN

3.7K 405 20
                                    

Kamarnya terasa gelap. Arthur perlu mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan pandangannya. Diraihnya jam di meja samping tempat tidurnya. Sudah pukul 10 malam. Sepertinya setelah minum obat tadi dia tidur sangat lama untuk pemulihan. Untunglah sekarang kondisi badannya sudah lebih baik.

Arthur mencoba bangun. Kerongkongannya terasa kering dan ia butuh minum.

Sret..

Handuk? Arthur mengambil handuk tersebut. Ia tidak pernah merasa pernah melakukan sesuatu dengan handuk kecil ini. Setelah disuapi Kalila tadi dia minum obat lalu masuk ke kamar dan tidur.

"Eh," Arthur teringat akan Kalila. Tadi Kalila tidak langsung pulang setelah menyuapinya. Dia bilang akan membereskan makanan dulu setelah itu pulang. Arthur bangkit dan berjalan secepat tubuh lemahnya bisa bergerak. Ketika ia membuka pintu yang menghadap ruang tamu, ia tertegun.

Gadis manja itu sedang tertidur dengan pulasnya di sofa. Dadanya naik turun seirama dengan nafasnya. Seuntai rambut jatuh menutupi mata yang terpejam. Arthur menghampiri Kalila dan berjongkok di depannya. Kalila tampak damai.

Andai setiap hari dia sedamai ini.

"Kalila," panggil Arthur.

Kalila masih tertidur.

"Kalila," panggil Arthur lagi. Tangan Kalila disentuh perlahan oleh Arthur.

"Eh apa? Ada sesuatu?" Kalila membuka matanya cepat dan bangun. Dia memandang berkeliling dengan ekspresi kaget. Arthur tersenyum.

"Tidak ada apa-apa,"

"Semua baik-baik saja? Demammu sudah reda, Arthur?" Kalila menunduk kepada Arthur yang berjongkok di bawah. Kening Arthur dipegang begitu saja oleh Kalila.

JAdi handuk tadi untuk kompres ya?

"Aku merasa sudah baikan," Arthur memilih menjawab dengan jawaban yang aman. PAdahal Kalila sendiri bisa merasakan apakah demam Arthur sudah turun atau belum.

"Ah syukurlah. Kamu pasti lapar lagi kan? Mau aku panaskan masakan yang tadi? Terus kamu mau makan apa? Buah-buahan atau yang lain? Obatmu masih ada?" Kalila berkata seperti tak ada lelahnya. Bahkan dia sudah berdiri dan berjalan menuju dapur.

"Kamu belum pulang jam segini?" Arthur menyela.

"Memang sekarang jam berapa?" Kalila menunduk menatap arlojinya. "Ya ampun! Sudah jam 10?!"

"Iya," Arthur mengangguk. Pelan-pelan menuju dapur menghampiri Kalila. "Kamu boleh pulang. Aku sudah baikan. Tidur sebentar lagi dan besok aku bisa masuk kantor."

"Oke nanti aku pulang. Sebelum itu biarkan aku panaskan makan malam untuk kamu dulu ya. Ada yang mau kamu makan?" Kalila berbalik ke arah kulkas tempat tadi dia menyimpan masakan Amy yang belum habis.

Arthur menggeleng melihat Kalila yang sigap kesana kemari. Untuk kali ini Kalila tidak terlihat beisik dan manja seperti biasanya. Melainkan begitu serius dan fokus. Mungkin begini penampilannya kalau sedang benar-benar jadi seorang pengacara.

"Orang tuamu gak cari kamu? Jam segini belum pulang...di tempat laki-laki pula," Arthur berkata pelan. Kalila berbalik sebentar dari depan microwave.

"Nanti aku bilang kalau aku baru membantu teman yang sakit. Gak perlu bilang temannya laki-laki atau perempuan. Lagipula, memangnya kamu bisa ngapain aku kalau lagi sakit gini?"

Arthur tertawa. "Oke. Asal setelah ini aku gak dituduh macem-macem," Arthur akhirnya memilih menunggu Kalila memanaskan makanan sambil duduk.

"Tenang, orang tuaku terlalu sayang sama aku," Kalila tersenyum lebar. Dengan hati-hati Kalila menaruh makanan yang baru dipanaskan ke meja di depan Arthur. "Selamat makan,"

Arthur tahu ini semua masakan Amy. Tapi melihat Kalila yang menyiapkannya sekarang, Arthur ikut merasakan perhatian Kalila dalam setiap menunya.

Man, gue jadi cheesy banget gini. Arthur menggelengkan kepalanya.

"Kamu gak suka makanannya? Mual apa gimana?" Kalila bertanya saat dilihatnya Arthur menggeleng.

"Hah? Oh bukan. Tadi kayak pusing dikit," Arthur ngeles, nyengir sedikit.

"Oh gitu. Mau aku suapi lagi?" Kalila duduk di sebelah Arthu.

This smells of peppermint. Kenapa masih belum hilang?

"Aku sudah lebih baik, bisa makan sendiri. Lebih baik kamu makan juga, Kalila,"

"Aku gak lapar," jawab Kalila cepat. Arthur menaikkan sebelah alisnya.

"Bukan diet. Aku memang jarang makan. Breakfast like a king, lunch like a princess, and dinner like a pauper," kata Kalila sambil mengangguk kuat-kuat. Lagi-lagi Arthur tertawa.

"Ya sudah. Jangan salahkan aku kalau kamu tergoda. Masakan Amy enak lho," kata Arthur sebelum mulai makan. di sampingnya Kalila memperhatikan. Dia sudah gatal ingin mengambil sendok itu dan menyuapi Arthur seperti yang ia lakukan tadi siang. Tapi Arthur sudah lebih sehat jadi...

Kalila mengulurkan tangannya, meraih tangan Arthur yang memegang sendok, lalu mengarahkan tangan itu ke mulutnya sendiri. Arthur tercengang. Bukan saja karena Kalila bertindak mendadak. Melainkan karena Arthur jadi terkesan ganti menyuapi Kalila.

"Iya kamu benar. Masakan Amy enak," kata Kalila santai. Berbanding terbaik dengan Arthur yang terheran-heran.

***

So, setelah semedi berhari-hari dan cari wangsit sana sini. Akhirnya aku menemukan perwujudan yang pas untuk imej seorang Arthur Watson. Menurutku sih ya. kalian tetap bebas kok kalau mau membayangkan Arthur dengan wajah siapapun.

Aku memilih Henry Cavill sebagai representasi Arthur Watson. Mereka sama-sama British Guy dan usianya pun 30an. Rahangnya persegi dan terlihat kokoh. Matanya teduh dan ramah. Senyumnya tulus. Ekspresinya membawa ketenangan. Demikian :))

Gentleman's Choice - END (CETAK & GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang