DUA

16K 1K 24
                                    

"Ssshhh.. Ahh.."

"Do you like it babe?"

"Yes. Yess.. Ahh..."

"Me too,"

"Ohhhh... Keluarkan di dalam saja,"

"Kamu yakin? Dengan senang hati,"

"Yesss..."

"Aaaahhh," terdengar suara teriakan kepuasan dari dua insan yang sedang bercinta di dalam ruangan gelap itu.

Arthur mengecek arlojinya. Menggeleng saat ia sadar datang di waktu yang salah. Rekan sesama pengacaranya Bertrand ini pasti memang sedang menikmati waktu dengan sang istri. Apalagi di malam Jumat begini. Tapi kenapa dia sampai harus menguping hal seperti ini segala?

Diacaknya rambut yang sedari tadi masih tersisir rapi lalu ia berjalan menjauh dari ruangan Bertrand. Lagian kenapa temannya ini malah bercinta di kantor sih?

Cklek.

Arthur berbalik. Mendapati Bertrand keluar sambil merapikan bajunya.

"Eh, lo disini?"

"Yeah," Arthur mengangkat bahu.

"Udah lama?" tanya Bertrand, menghampiri Arthur sambi mengancingkan pakaiannya. DI kantor hanya tinggal beberapa orang yang belum pulang.

"Cukup lama sampai denger lo sama istri orgasme barengan," kata Arthur dengan nada agak geli dan bete.

Bertrand tertawa terbahak-bahak. "Ya lo tau lah gue kan udah nikah 2 tahun tapi belum punya anak,"

"Ya tapi gak di kantor juga sih. Untung udah gak ada orang," Arthur mendengus lalu menggeser kursi dan duduk. Bertrand ikut duduk di hadapannya.

"Malah karena udah gak ada orang makanya gue berani. Lagian kan seru, suasana baru," Bertrand mengedip nakal. Arthur mengernyit. Lama-lama ia tersenyum juga.

"Semoga jadi deh yang satu ini. Nanti anak lo kasih nama Cikan,"

Bertrand mengernyit. "Apaan tuh?"

"Bercinta di kantor," kata Arthur. Bertrand tertawa keras lagi. Bahkan sampai bersandar di punggung kursi.

"Garing ya lo," Bertrand mengatur nafasnya sampai terdengar normal lagi. Tidak lama kemudian istrinya keluar dari ruangan Bertrand, tidak akan ada yang menyangka kalau ia dan suaminya habis bercinta di dalam. "Ngomong-ngomong, lo belum nemu pengganti Amy?"

"Hmm, gue dateng nyari lo bukan karena mau bahas pasangan buat gue sih," Arthur lagi-lagi meirik arlojinya. Marina, istri Bertrand duduk di antara mereka.

"Mau kukenalkan dengan seseorang, Arthur?" tawar Marina ramah.

Arthur menoleh. "Ah, serius, aku sedang tidak memikirkan perihal wanita karena..."

"Ini," Marina mengangsurkan ponselnya, menampilkan foto seorang perempuan berambut merah ikal. "Janice, usianya 27, dokter,"

Arthur menatap foto itu sekilas. Menata Marina dan Bertrand bergantian. "Seriously, you guys doesnt need to help me out like this..."

"Not because we need to, but we want to," Bertrand tersenyum lebar, diikuti istrinya.

***

Klinik Rumah Bahagia, daerah Pejompongan. Arthur bersandar di mobilnya dan menatap ke dalam tanpa melakukan apa-apa. Ia sudah mendapatkan nomor Janice, sudah mengatakan akan menjemput Janice di klinik setelah ia selesai praktek, tapi begitu tiba, ia tidak melakukan apa-apa.

"Ngapain sih gue?" Arthur berbalik dan akan membuka pintu mobilnya ketika ia ingat bahwa ia sudah berjanji. Pria macam apa yang mengingkari janjinya? Ia menutup pintu dan berbalik. "Oke,"

Perlahan Arthur melangkahkan kaki menuju klinik dengan bangunan sederhana ini. Semua ini gara-gara Bertrand yang menghubungi Janice dari ponsel Arthur seakan-akan Arthur yang menghubungi Janice. Ditambah rupanya respon Janice pun positif, jadilah Bertrand semakin berapi-api. Akibatnya Bertrand pula mengusulkan bahwa Arthur akan menjemput Janice sepulang praktek. Meskipun yang menyetujui pada akhirnya adalah Arthur sendiri.

"Permisi," Arthur membuka pintu dan seketika wangi khas rumah sakit menerpa hidungnya. Dihampirinya resepsionis, membuat resepsionis itu refleks menganga. "Sore,"

Glek, Arthur bisa melihat gadis itu menelan ludah. "Y-ya ada y-yang bisa di-dibantu?"

"Saya mencari Dr. Janice,"

"Sudah buat janji, Pak? Karena jam praktek sudah hampir habis," mungkin resepsionis itu bermaksud menelepon ruangan Janice, namun yang diangkatnya adalah remote TV di ruang tunggu. Arthur tersenyum sedikit. Pura-pura tidak tahu.

"Er saya gak buat janji untuk praktek. Tapi memang mau bertemu Dr. Janice,"

"Oh begitu. Tunggu sebentar saya panggilkan dulu ya," ia berpaling dari Arthur kemudian memencet nomor ekstensi, ketika sadar gagang telepon masih di tempatnya. Diliriknya tangan sebelah kanan yang ternyata memegang remote. "Ya ampun. Maaf Pak," Ia meringis menatap Arthur, wajahnya memerah, cepat-cepat ia menyimpan remote dan mengambil gagang telepon sebenarnya. Arthur menanggapi hanya dengan tersenyum.

"Dr. Janice sebentar lagi keluar Pak," kata resepsionis itu akhirnya. "Silakan ditunggu di sofa,"

"Baik, terima kasih,"

Arthur menghampiri sofa dan duduk. Ia mengambil salah satu majalah dan membuka-bukanya. Beberapa artikel sempat ia baca namun yang ditunggu belum keluar juga. Arthur bahkan sempat merasakan bahwa resepsionis itu memperhatikannya terus. Sesekali berusaha mengambil foto Arthur karena pose memegang ponsel yang tidak lazim. Arthur pura-pura tidak tahu.

"Arthur Watson?" sapa sebuah suara yang begitu halus.

Arthur menengadah. Di hadapannya berdiri perempuan tinggi semampai, berambut panjang berwarna merah, wajahnya cantik khas Indonesia.

"janice Primaninda?"

"Ya, saya. Salam kenal," Janice mengulurkan tangannya. Arthur menyambut uluran tangan bersebut. Terasa halus dan pas dalam genggamannya.

"Salam kenal," Arthur tidak lepas memandang wajah Dr. Janice yang ramah dan cantik. Tipe dokter yang membuat pasien-pasiennya datang meskipun tidak sakit.

"Apa kita akan keluar untuk makan malam misalnya?" tanya Janice, menggoyangkan tangannya. Membuat lamunan Arthur buyar.

"Ah iya. Mari. Silakan," Arthur menunjuk ke arah luar. Janice tersenyum. Bersama-sama mereka keluar dari klinik. Si resepsionis menghele nafas kecewa.

***

Siapa tokoh yang cocok jadi Dr. Janice menurut kalian eh?

I imagined Janice will looks like that girl on multimedia.

But, let your imagination fly away as broad as you want 😘

Gentleman's Choice - END (CETAK & GOOGLE PLAY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang