"Kamu gak harus menjemputku seperti ini, Arthur," adalah kata-kata pertama Janice begitu jarak yang memisahkan dirinya dengan Arthur hanya 30 senti.
Arthur membalasnya dengan senyuman lebar.
"Karena aku ingat kamu gak bawa mobil ke bandara. Barang-barangnya pun pasti banyak. Jadi aku inisiatif untuk menjemput," Arthur mengulurkan tangan, menawarkan bantuan untuk membawakan koper Janice.
"Aku kaget lho. Tapi memang kamu gak sibuk?" Janice mengelurukan pegangan kopernya kepada Arthur.
"Sekali-sekali aku harus libur di akhir pekan," kata Arthur singkat.
"Iya, jangan sampai kamu kebanyakan kerja. nanti sakit lagi," Janice tersenyum. MEreka mulai berjalan menuju tempat parkir. "Terus gimana pas sakit kemarin? Ada yang bantu rawat kamu?"
Arthur tidak langsung menjawab ini. Ada dua wanita yang berkontribusi akan kesembuhannya. Namun ia tidak merasa perlu menceritakan ini kepada Janice.
"Ada saudara disini yang bantu datang," Arthur memilih menjawab hal tersebut.
"Oh gitu. Syukurlah. Jadi kamu bisa cepet sembuh juga ya," Janice mengangguk. "Oh iya. Kamu mau ikut makan malam bareng keluargaku?"
Arthur menoleh. Tepat saat mereka akan memasuki mobil Arthur. "Makan malam? Dalam rangka apa?"
Janice mengangkat bahu. "Adikku ingin mengenalkan pacarnya ke keluarga kami. Jadi aku pikir..."
Arthur tahu kemana ini mengarah. Berbagai pikiran mendadak berkecamuk di pikirannya.
"Oke. Oke aku ikut makan malam..."
***
Setelah dari bandara tadi Arthur kembali pulang ke apartemennya. Janice bilang dia ingin istirahat dulu karena masih jet lag. Nanti malam Arthur akan kembali ke rumah Janice untuk mengikuti makan malam.
Sekarang, di depan kaca di kamar mandinya, Arthur berdiri diam menatap bayangan wajahnya sendiri. 11 bulan yang lalu ia masih seorang suami. Ia melewatkan saat-saat penuh rasa berdegar saat bertemu orang tua kekasihnya. Karena dia sudah sangat lama mengenal kedua orang tua Amy. 11 bulan kemudian dari Arthur akhirnya menyerahkan Amy kembali kepada keluarganya, ia kembali jadi seperti anak ABG yang baru punya pacar.
Tunggu. Dia bahkan belum meminta Janice jadi pacarnya. Belum. Arthur masih belum yakin. Entah apa yang harus ia yakinkan atau siapa yang perlu dia yakinkan. Dirinya sendiri? Janice? Arthur hanya berpikir bahwa ia perlu menjalani sebaik-baiknya kesempatan apa yang muncul di depan dirinya. Kesempatan untuk melangkah maju. Melupakan masa lalu dan melupakan mantan istri yang sudah hidup berbahagia dengan suami dan anaknya.
Dan Janice, adalah kesempatan yang sangat baik.
***
"Selamat datang," Janice membukakan pintu dan tersenyum lebar menatap Arthur. Dia tidak terlihat baru menjalani penerbangan berjam-jam melintasi samudera. Janice tampak cantik dan segar. Dengan gaun semi formal berwarna biru muda yang cukup kontras dengan rambutnya yang berwarna merah. Ditambah wajahnya yang mengembangkan senyuman. Membuat Arthur ikut tersenyum lebar.
"Terima kasih untuk undangannya," Arthur mengangguk. Janice tertawa.
"Sini masuk," Janice melebarkan pintu mempersilakan Arthur untuk masuk. Setelah Arthur berada di dalam rumah, Janice menutup pintu di belakangnya.
"Macet kah?" tanya Janice ketika mereka mulai berjalan masuk. Yang mengagetkan, Janice bertanya sambil merangkulkan tangannya ke lengan Arthur.
"Eh," Arthur tercengang. Dia belum pernah berinteraksi secara fisik dengan Janice lebih dari sekedar bersalaman. Maka ketika akhirnya Janice berani memegang tangannya seperti ini, jujur saja Arthur tercengang. "Macet biasa saja. Jadi aku mengantisipasi dengan berangkat lebih cepat."
"Bagus. Lebih baik datang lebih cepat daripada terlambat ya,"
Arthur mengangguk. Mereka akhirnya sampai di bagian belakang rumah dimana halamannya sudah diset dengan meja makan yang tertata rapi.
"Pacar adikmu belum tiba?" Arthur bertanya saat dilihatnya meja makan itu hanya terisi dua orang yang sepertinya orang tua Janice.
"Belum. Mungkin sebentar lagi. Ayo kukenalkan ke orang tuaku," Janice menarik tangan Arthur menghampiri kedua orang tuanya.
Arthur menelan ludah. Sebagai apa Janice akan mengenalkan dirinya?
"Daddy, Mommy," panggil Janice. "Kenalkan, ini Arthur,"
Arthur mengangguk dan mengulurkan tangannya. "Perkenalkan, saya Arthur Watson,"
"Kami sudah sering mendengar cerita tentangmu dari Janice," kata ibu Janice. Rambut panjang dan keramahannya diwariskan kepada Janice. Tapi Janice sesungguhnya lebih mirip ayahnya.
"Semoga cerita yang baik," balas Arthur.
"Sangat, sangat baik," ibunya melirik Janice, Janice tersenyum dikulum.
"Silakan duduk, Arthur," ayah Janice mempersilakan Arthur duduk. Maka Arthur pun duduk di samping Janice.
Mereka mulai bercakap-cakap. Diawali dengan pekerjaan Arthur dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Seperti politik dan perekonomian. Obrolan mereka berhenti ketika pacar Alice, adik Janice, tiba. Fokus obrolan langsung berpindah kepada pacar Alice yang berusia lebih tua 10 tahun. Tampaknya pacar Alice sudah berminat untuk melamar Alice.
"Thank you for tonight," ujar Janice setelah acara makan malam selesai. Arthur pamit pulang lebih dulu sementara pacar Alice si tamu lainnya masih berada di dalam.
"Terima kasih juga sudah mengundang aku," Arthur tersenyum. Sekali lagi dipandanginya Janice yang berdiri cantik dan penuh senyum. Dilatarbelakangi cahaya dari dalam rumah menghadap teras tempat mereka sedang berdiri berhadapan.
"Maaf kalau keluarga aku agak serius banget," lanjut Janice.
"Ah itu," Arthur tertawa sedikit. Meski Alice dan pacarnya melontarkan lelucon, ayah Janice hanya menanggapi dengan anggukan. Tidak ada senyum ataupun tawa. Tidak pula menunjukkan ketidaksukaan. Hanya datar. "Ayahmu punya poker face yang bagus."
Giliran Janice tertawa.
"Aku anggap itu pujian ya," Janice mengerjapkan matanya.
Arthur tidak tahu ada angin apa atau setan mana yang mempengaruhi dirinya. Melihat Janice berdiri anggun dan menatapnya seperti itu, Arthur meraih tangan Janice dan melangkah mendekat. Sebelah tangannya yang lain melingkari kepala Janice dan menarik wajahnya ke hadapan Arthur. Bibir merah itu dicium Arthur dengan lembut. Janice terkejut namun tak lama. Ia menarik tangannya dan melingkarkan ke tubuh Arthur. Matanya dipejamkan dan ia membalas ciuman Arthur. Ciuman yang awalnya hanya menyentuh bibir luarnya, lama kelamaan mulai bergerak lebih jauh.
"Sorry," bisik Arthur setelah melepaskan ciumannya. Ia mundur selangkah, memalingkan wajah dari Janice.
"Apa itu artinya?" Janice bertanya. Arthur mendongak. "Ciumanmu itu, artinya apa?"
Arthur tidak menjawab. Hanya menatap wajah Janice yang sekarang penuh tanda tanya. Janice menunggu jawaban Arthur dengan sabar. Padahal jantungnya berdebar kencang.
"Aku...mengajakmu untuk berhubungan lebih jauh lagi," Arthur akhirnya menjawab.
***
Yang artinya apa Bang Arthuuur?
KAMU SEDANG MEMBACA
Gentleman's Choice - END (CETAK & GOOGLE PLAY)
Romance#97 in Romance, February 4, 2017! :)) Selepas bercerai dengan cinta pertamanya, Arthur memilih untuk tetap sendirian. Ia ingin lebih memahami diri dan perasaannya sendiri sebelum menjatuhkan hati pada wanita lain. Namun sebagai most eligible duda k...